JAKARTA, KOMPAS-- Selain untuk penanganan bencana, sebagian besar dana cadangan yang sebesar Rp 18,5 triliun dalam Rancangan APBN 2019 dialokasikan untuk belanja kementerian dan lembaga bidang keamanan nasional. Kerangka penggunaan dana cadangan ini harus terperinci dan transparan untuk mencegah politisasi anggaran.
Dana cadangan muncul setelah Panitia Kerja A DPR membahas asumsi dasar, penerimaan, dan subsidi dalam postur sementara RAPBN 2019, pekan lalu. Perubahan asumsi nilai tukar rupiah per dollar AS menjadi Rp 15.000 serta penurunan anggaran pengelolaan subsidi sebesar iRp 4,1 triliun menyediakan dana cadangan belanja mendesak senilai Rp 18,5 triliun.
Panja A juga menyepakati defisit RAPBN 2019 sebesar Rp 297,2 triliun atau 1,84 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Angka ini tidak berubah dari usulan pemerintah sebelumnya. Dengan demikian, seluruh dana cadangan akan digunakan untuk mendanai belanja negara, bukan untuk mengurangi defisit anggaran.
Dana cadangan belanja mendesak ini dialokasikan untuk rehabilitasi dan rekonstruksi pasca bencana alam di Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Tengah sebesar Rp 5 triliun, dana penempatan untuk bencana alam Rp 1 triliun, serta cadangan belanja kementerian dan lembaga Rp 12,5 triliun.
Sebagian besar dana cadangan belanja tersebut untuk kementerian dan lembaga yang bergerak di bidang keamanan nasional, seperti Kepolisian RI Rp 8,45 triliun, Badan Intelijen Negara Rp 2,5 triliun, Badan Siber dan Sandi Negara Rp 650 miliar, serta Kementerian Pertahanan Rp 500 miliar.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati kepada Kompas, Minggu (21/10/2018), berpendapat, kebijakan pemerintah menggunakan dana cadangan untuk penanganan bencana sudah tepat. Dana cadangan harus dialokasikan untuk program-program prioritas yang bertujuan memitigasi risiko dan mendorong perekonomian nasional.
Namun, tambah Enny, penggunaan dana cadangan yang cenderung fleksibel tersebut rentan dipolitisasi. Selama ini, pemerintah tidak pernah merumuskan kerangka kebijakan tentang penggunaan dana cadangan belanja secara detail dan jelas. Pemanfaatan dana cadangan juga dinilai lebih rawan pada tahun politik.
Untuk itu, pemerintah seharusnya menyusun panduan penggunaan anggaran.
“Dana cadangan belanja itu harus didefinisikan secara jelas, terutama penggunaannya, agar tidak serampangan. Mestinya, pemerintah merumuskan payung hukum untuk mengurangi risiko penggunaan dana yang fleksibel,” kata Enny.
Seusai rapat dengan Badan Anggaran DPR, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan, cadangan belanja tetap menjaga defisif APBN 2019 sebesar 1,84 persen PDB. Angka itu dinilai tepat untuk memberi sinyal bahwa pemerintah semakin hati-hati dan memahami kondisi pasar global yang diliputi ketidakpatian.
Cadangan meningkat
Dana cadangan belanja sebesar Rp 18,5 triliun itu meningkat dari usulan pemerintah sebelumnya yang sebesar Rp 14,4 triliun.
Direktur Jenderal Anggaran Kementerian Keuangan Askolani menjelaskan, penambahan cadangan belanja berasal dari pengurangan anggaran pengelolaan subsidi Rp 4,1 triliun. Dalam postur sementara RAPBN 2019, anggaran pengelolaan subsidi sebesar Rp 224,3 triliun.
Kendati 67 persen dana cadangan dialokasikan untuk belanja kementerian/lembaga, menurut Askolani, penggunaannya tetap fleksibel. Jika terjadi kekurangan subsidi, bisa memanfaatkan dana cadangan mendesak dari kementerian/lembaga dengan parameter tertentu.
Dana cadangan bisa diperoleh dari kenaikan penerimaan negara, yang berasal dari pendapatan negara bukan pajak.
Selain dana cadangan, postur sementara RAPBN 2019 mengalokasikan anggaran pemilihan umum Rp 24,8 triliun. Jumlah ini meningkat dari 2018 yang sebesar Rp 16 triliun. Anggaran pemilu antara lain untuk pelaksanaan dan pengawasan tahapan pemilu. (KRN)