Kinerja Bakal Bertambah Berat
Perdagangan global pada tahun depan bakal bertambah berat. Dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Nusa Dua, Bali, Dana Moneter Internasional (IMF) memangkas proyeksi volume perdagangan global pada 2018 dan 2019 masing-masing hanya tumbuh menjadi 4,2 persen dan 4 persen.
Padahal pada 2017, volume perdagangan dunia tumbuh 5,2 persen. Angka tersebut merupakan persentase pertumbuhan terbaik volume perdagangan global sejak 2010.
Faktor utama IMF memangkas pertumbuhan volume perdagangan itu adalah tensi perang dagang Amerika Serikat (AS)-China semakin meningkat. Masih belum ada solusi atas aksi saling balas pengenaan tambahan besaran bea masuk impor kedua negara itu.
Keretakan hubungan kedua negara itu bahkan semakin melebar di sektor pemanfaatan teknologi informasi investasi. Laporan Bloomberg menyebutkan, ada dugaan penyusupan cip mikro oleh intelijen China ke sistem teknologi rantai pasok AS. Kurang lebih 30 perusahaan, sejumlah bank besar, dan instansi Pemerintahan AS, diduga kena imbas pencurian kekayaan intelektual itu.
Sejak Donald Trump menjadi presiden AS, negara berjuluk Paman Sam itu kembali mempersoalkan kebijakan China di sektor investasi. AS ingin China mencabut regulasi yang mewajibkan perusahaan AS yang berinvestasi di China untuk mentransfer teknologi. AS tidak ingin teknologinya direplikasi China.
Bagi Indonesia, kedua negara itu merupakan mitra dagang yang besar. Apabila pertumbuhan ekonomi kedua negara itu turun, terutama China, pertumbuhan ekonomi Indonesia akan terdampak. Bank Pembangunan Asia menyebutkan, setiap 1 persen pelemahan ekonomi di China, akan menurunkan produk domestik bruto (PDB) Indonesia sebesar 0,2 persen.
IMF juga memproyeksikan pertumbuhan ekonomi China diperkirakan 6,6 persen pada 2018 dan 6,2 persen pada 2019. Koreksi itu mempertimbangkan dampak peningkatan bea masuk oleh AS kepada produk-produk China.
IMF juga memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2018 dan 2019 sebesar 5,1 persen. Angka pertumbuhan ekonomi ini menurun dari proyeksi pada April sebesar 5,3 persen. Salah satu faktor yang menjadi pertimbangan adalah turunnya kinerja ekspor Indonesia di tengah-tengah tekanan eksternal yang semakin kuat.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, neraca perdagangan Indonesia pada Januari-September 2018 masih defisit sebesar 3,78 miliar dollar AS. Dalam sembilan bulan, neraca perdagangan Indonesia hanya surplus tiga kali, yaitu pada Maret, Juni, dan September. Pada periode sama 2017, neraca perdagangan Indonesia hanya sekali mengalami deifisit, yaitu pada Juli.
Defisit neraca perdagangan itu akan berkontribusi pada defisit transaksi berjalan Indonesia. Sementara itu, transaksi modal dan finansial diperkirakan masih belum dapat menutup defisit transaksi berjalan Indonesia, karena likuiditas global juga mengetat.
Pada triwulan II-2018, defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 8 miliar dollar AS atau 3,04 persen produk domestik bruto (PDB). Sementara transaksi modal dan finansial pada triwulan II-2018 hanya setengahnya, yakni 4 miliar dollar AS.
Tahun depan dan tiga bulan terakhir pada tahun ini, kinerja perdagangan internasional Indonesia benar-benar akan diuji. Kementerian Perdagangan masih optimistis target ekspor nonmigas dapat terealisasi sebesar 11 persen pada akhir tahun nanti.
Momentum kenaikan harga minyak mentah dunia benar-benar perlu dimanfaatkan. Kenaikan harga minyak mentah dunia akan mendorong kenaikan harga sejumlah komoditas ekspor Indonesia seperti minyak sawit mentah (CPO) dan produk turunan, batubara, dan karet.
Namun kendalanya adalah masih banyak hambatan perdagangan untuk produk CPO, yaitu pengenaan bea masuk impor yang tinggi dari India, serta kampanye hitam CPO dan dikeluarkannya biodiesel turunan CPO dari daftar energi terbarukan Uni Eropa. Adapun batubara dan karet, dua negara besar yang membutuhkan komoditas itu adalah AS dan China. Keduanya saat ini tengah berseteru.
Tentu saja tidak menutup kemungkinan bagi Indonesia mengisi peluang pasar AS dan China dalam bentuk produk lain, seperti tekstil dan produk tekstil, serta besi dan baja. Namun, Indonesia masih harus bersaing dengna negara-negara lain penghasil produk sejenis. Negara-negara tersebut, terutama yang sama-sama mengalami defisit transaksi berjalan, juga akan memanfaatkan peluang itu.
Selain mengendalikan impor, alternatif lain mendongkrak ekspor adalah meningkatkan perdagangan bilateral dan regional. Satu potensi pasar yang saat ini masih setengah hati tergarap adalah pasar regional ASEAN dengan Masyarakat Ekonomi ASEAN. Ketika pasar dunia mulai tenggelam, Indonesia bersama negara-negara ASEAN perlu membesarkan pasar regional.