JAKARTA, KOMPAS-- Bank Indonesia mempertahankan suku bunga acuan BI pada posisi 5,75 persen. Langkah ini untuk menjaga momentum pertumbuhan ekonomi nasional serta daya tarik pasar keuangan domestik.
Rapat Dewan Gubernur BI pada 22-23 Oktober 2018 juga memutuskan untuk mempertahankan suku bunga fasilitas simpanan rupiah bank di BI 5 persen dan fasilitas pinjaman rupiah bank dari BI 6,5 persen.
September lalu, Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed, menaikkan suku bunga acuan 25 basis poin ke kisaran 2-2,25 persen. Anggota komite penentu kebijakan moneter The Fed (FOMC) masih akan satu kali lagi menaikkan suku bunga di 2018, tiga kali di 2019, dan satu kali lagi pada 2020.
Deputi Gubernur Senior BI Mirza Adityaswara di Jakarta, Selasa (23/10/2018), mengatakan, kendati mempertahankan suku bunga acuan, BI tetap mencermati dan mewaspadai risiko global dan domestik. “Kebijakan (mempertahankan suku bunga) ini konsisten dengan upaya menurunkan defisit transaksi berjalan ke batas yang aman dan mempertahankan daya tarik pasar keuangan,” ujarnya.
Transaksi berjalan triwulan II-2018 defisit 8 miliar dollar AS aatau 3,04 persen produk domestik bruto.
Dari dalam negeri, tantangan yang dihadapi adalah tekanan inflasi. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan III-2018 tidak sekuat proyeksi semula karena dipengaruhi penurunan ekspor. Namun, investasi masih tumbuh cukup tinggi ditopang investasi langsung dan investasi di pasar keuangan.
Adapun risiko global yang perlu diantisipasi antara lain kenaikan inflasi, arah kebijakan ekonomi dan perdagangan AS, kenaikan bunga acuan The Fed, serta kondisi geopolitik Eropa.
Mirza mengatakan, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat karena penurunan harga berbagai komoditas. Kenaikan harga minyak mentah dunia juga menekan perekonomian negara-negara yang tidak memproduksi minyak.
Pertumbuhan ekonomi China juga diperkirakan melambat akibat nilai ekspor yang anjlok karena dampak perang dagang. Namun, ada anomali, yakni pertumbuhan ekonomi AS yang diproyeksi tetap kuat, didorong konsumsi rumah tangga dan kebijakan moneter.
Kepala Peneliti Makroekonomi dan Finansial Lembaga Pengkajian Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia, Febrio Kacaribu menilai, keputusan BI menahan suku bunga acuan tepat karena depresiasi rupiah relatif terkendali dalam jangka pendek. “Tren inflasi dalam negeri rendah, meski defisit neraca berjalan yang berlanjut masih menekan rupiah dalam jangka menengah,” ujarnya.
Likuiditas dijaga
Untuk menjaga kecukupan likuiditas di pasar rupiah dan valuta asing, pada 1 November 2018 BI menghadirkan pasar non-deliverable forward domestik (DNDF) di dalam negeri. Tujuannya, mempermudah pemantauan pergerakan valas dan mengambil langkah-langkah stabilisasi rupiah. Di sisi lain, BI ingin mempercepat pendalaman pasar valas domestik.
DNDF merupakan salah satu bentuk transaksi lindung nilai valas terhadap rupiah di dalam negeri. Transaksi itu berupa transaksi berjangka kontrak perjanjian antar pihak. Pihak-pihak yang terlibat dalam transaksi adalah perbankan -sebagai penyedia instrumen-, importir, eksportir, investor asing, dan korporasi yang memiliki utang luar negeri, yang membutuhkan atau akan menjual valas.
Kepala Departemen Pengelola Moneter Nanang Hendarsah mengatakan, saat ini BI bersama 11 bank pelaku pasar utama di pasar valas tengah menyiapkan pelaksanaan transaksi DNDF.
“Target transaksi adalah menyediakan alternatif instrumen lindung nilai untuk nilai tukar dunia usaha dan investor dalam rangka memitigasi risiko fluktuasi kurs,” ujarnya.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara berharap BI memberikan insentif agar pemakai NDF di luar negeri tertarik menggunakan DNDF.
Sementara itu, Ketua Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia Rosan Perkasa Roeslani mengatakan, pola kenaikan suku bunga acuan BI dan The Fed mulai dipahami pengusaha. Pengusaha mulai menyiapkan siasat untuk mengelola biaya dana, pembiayaan impor, dan pembayaran utang. (DIM/HEN/KRN)