JAKARTA, KOMPAS — Di tengah mengetatnya likuiditas perbankan Indonesia, kebutuhan kredit tetap harus dipenuhi untuk mendorong pertumbuhan berbagai sektor perekonomian. Karena itu, diperlukan sumber dana alternatif untuk menyalurkan kredit selain dana pihak ketiga. Pasar modal dapat menjadi solusi.
Dalam seminar nasional ”Peta Kekuatan Permodalan Perbankan Nasional di Tengah Ancaman Krisis” di Jakarta, Selasa (23/10/2018), Pemimpin Redaksi Infobank Eko Supriyanto mengatakan, keadaan kredit perbankan Indonesia cukup baik meskipun terdapat ancaman krisis global. Dengan pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, kredit macet (NPL) berada di kisaran 2,4 persen, sedangkan kredit berkualitas rendah mencapai 7,8 persen.
“Likuiditas kita sudah mentok, hampir mencapai 93 persen. Namun, kredit per PDB (pendapatan domestik bruto) 39-40 persen. Artinya, likuiditas kita ketat, tapi kita masih butuh kredit. Karena itu, bank lokal atau asing harus bisa berkontribusi membuka lapangan kerja, mendorong pertumbuhan ekonomi, dan meningkatkan penerimaan pajak,” kata Eko.
Ekonom senior Bursa Efek Indonesia (BEI) Poltak Hotradero mengatakan, sektor perbankan dan pasar modal di Indonesia berkaitan erat. Kapitalisasi sektor keuangan, termasuk perbankan, di BEI mencapai 24,6 persen, paling besar di antara sektor-sektor lain. Bank Central Asia, Bank Mandiri, Bank Danamon, dan BNI termasuk dalam 20 besar perusahaan dengan nilai kapitalisasi pasar terbesar.
Poltak menambahkan, 42 bank berstatus publik menguasai nilai aset keuangan Indonesia sebesar Rp 6.107 triliun atau 82 persen total aset perbankan nasional. Adapun 10 bank nonpublik lainnya menerbitkan obligasi dengan nilai Rp 458 triliun.
Di samping itu, sektor perbankan juga sangat penting untuk memfasilitasi pembayaran transaksi di BEI yang setiap hari dapat mencapai Rp 8,5 triliun. ”Ini gambaran sektor perbankan masih sangat prospektif karena performa dan valuasinya, serta punya pengaruh besar pada pasar modal Indonesia,” kata Poltak.
Meski demikian, sumber pendanaan perbankan mayoritas berasal dari simpanan masyarakat yang tenornya cenderung pendek. Seiring dengan kebijakan Basel III, bank perlu memperbaiki manajemen risikonya jika ingin menyalurkan dana dengan tenor panjang.
Di lain pihak, menurut survei bank dunia pada 2009, masyarakat Indonesia yang menabung di bank hanya 47 persen. Sebaliknya, hanya 17 persen yang meminjam dari bank. Perbankan dapat memperoleh kredit jangka panjang lewat pasar modal.
”Diperlukan solusi holistik. Pasar modal adalah mitra perbankan untuk manajemen risiko, terutama dalam menyalurkan dana berjangka panjang. Dengan demikian, mismatch antara dana yang dikumpulkan dan disalurkan bisa menjadi semakin kecil. Pengembangan produk di BEI juga akan semakin baik, misalnya dengan sekuritisasi kredit,” kata Poltak.
Di lain pihak, anggota Dewan Komisioner Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) Destry Damayanti mengatakan, permasalahan perbankan Indonesia bukan terletak pada modal, melainkan likuiditas yang terbatas. ”CAR (capital adequacy ratio) kita itu 23 persen, sedangkan di negara-negara lain itu mungkin hanya belasan persen. Kalau kredit naik sedikit lebih cepat, tiba-tiba LDR-nya sudah mentok di 93 persen, artinya harus hati-hati dalam menyalurkan kredit,” kata Destry.
Menurut Destry, itu disebabkan mayoritas dana yang dikumpulkan berasal dari dana pihak ketiga (DPK). Padahal, terdapat perlambatan DPK pada Juni 2018 (7 persen) ke Juli 2018 (6,9 persen). Pada Agustus 2018, pertumbuhan DPK semakin melambat ke 6 persen, sementara kredit meningkat ke kisaran 12-13 persen.
”Bank-bank Indonesia masih menyalurkan kebanyakan dananya ke sektor ritel, seperti rumah tangga, konsumsi, dan grosir (wholesale). Dengan aset bank sebesar 76 persen dari Rp 9.996 triliun di sektor keuangan, bank perlu waspada dalam mengelola dananya agar krisis 1998 tidak terulang,” papar Destry.
Karena itu, Destry mengatakan, dibutuhkan terobosan dalam penggalangan dana. Menurut dia, pendanaan dari pasar modal dapat menjadi alternatif.
Sementara itu, Deputi Komisioner Pengawas Perbankan III Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Slamet Edy Purnomo mengatakan, diperlukan konsolidasi perbankan. Ini dapat dilakukan dengan akuisisi ataupun merger antarbank. Efisiensi pelayanan juga dapat ditingkatkan melalui pengembangan teknologi finansial. (Kristian Oka Prasetyadi)