Kendalikan Subsidi Energi
JAKARTA, KOMPAS--Badan Kebijakan Fiskal menargetkan keseimbangan primer surplus pada 2020. Kondisi surplus antara lain ditopang penerimaan negara bukan pajak dan pajak penghasilan dari sektor minyak dan gas.
Oleh karena itu, belanja pemerintah untuk subsidi energi harus dikendalikan agar tidak melebihi kenaikan penerimaan.
“Dalam medium term budgetary framework pemerintah, keseimbangan primer ditargetkan surplus pada 2020. Kalau bisa lebih cepat akan lebih baik bagi APBN,” kata Kepala Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan Suahasil Nazara yang dihubungi Kompas di Jakarta, Rabu (24/10/2018).
Sebelum 2011, APBN mencatatkan surplus keseimbangan primer. Surplus mencapai Rp 41,53 triliun pada 2010.
Namun, keseimbangan primer mulai defisit pada 2011, yakni sebesar Rp 8,86 triliun. Defisit keseimbangan primer semakin dalam setiap tahun, hingga mencapai puncaknya pada 2015, yakni Rp 142,5 triliun.
Selanjutnya, defisit keseimbangan primer berangsur-angsur berkurang.
Suahasil menjelaskan, defisit keseimbangan primer pada 2018 ditargetkan Rp 64,8 triliun atau 0,44 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).
Keseimbangan primer diarahkan menuju positif, dengan defisit pada 2019 yang diupayakan berkurang menjadi Rp 21,7 triliun atau 0,13 persen PDB.
Performa keseimbangan primer menjadi indikator likuiditas anggaran negara. Keseimbangan primer adalah penerimaan negara dikurangi belanja tanpa pembiayaan utang dan cicilan utang.
Jika keseimbangan primer defisit, maka berarti seluruh pembayaran bunga utang dan cicilan utang harus ditutup dari utang baru. Pada saat yang sama, sebagian belanja negara lainnya juga harus dibiayai dari utang.
Sebaliknya, kondisi keseimbangan primer yang surplus berarti pemerintah mampu membiayai belanja negara di luar pembayaran bunga utang dari pendapatan negara. Bahkan, pemerintah mampu membayar sebagian bunga utang dari pendapatan negara.
Target keseimbangan primer kembali surplus pada 2020, tambah Suahasil, diwujudkan melalui target pertumbuhan penerimaan perpajakan 2019 yang dibuat serealistis mungkin agar tercapai. Di sisi lain, efisiensi anggaran pemerintah tetap diprioritaskan untuk belanja produktif sehingga terjadi penghematan.
Direktur Eksekutif Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Yustinus Prastowo berpendapat, rasio pajak bisa meningkat jika pengawasan kepatuhan perpajakan melalui implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis (AEoI) diterapkan secara optimal. Penerimaan negara tumbuh seiring pengesahan RUU tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).
Subsidi energi
Keseimbangan primer berkaitan erat dengan pendapatan negara, antara lain PNBP dan Pajak penghasilan (PPh) sektor migas. Kenaikan harga komoditas global, terutama minyak bumi dan batu bara, memberi stimulus ekstra bagi penerimaan negara dan APBN secara keseluruhan.
Mengutip data Kementerian Keuangan sampai dengan September 2018, PNBP sektor migas yang dihimpun sebesar Rp 94,14 triliun atau 117 persen dari target APBN 2018. Adapun PPh migas sebesar Rp 47,59 triliun atau 124 persen dari target APBN 2018.
Jika digabung dengan sektor nonmigas, realisasi PPh mencapai Rp 535,58 triliun atau 62,6 persen dari target.
Ekonom Bank Pembangunan Asia (ADB) Institute, Eric Alexander Sugandi, menilai, surplus keseimbangan primer pada 2020 akan tercapai karena penerimaan negara banyak dipengaruhi faktor eksternal di luar kendali pemerintah. Faktor itu antara lain harga minyak dunia yang diperkirakan terus naik pada 2019 dan 2020. Hal ini akan menguntungkan pemerintah.
“Dengan catatan belanja subsidi energi tidak melebihi kenaikan dari penerimaan negara,” kata Eric.
Meski demikian, pemerintah harus memikirkan ancang-ancang jika perang dagang antara Amerika Serikat dan negara-negara lain meluas. Prediksi sejumlah ekonom dunia, perang dagang bisa menyebabkan harga minyak dunia terkoreksi gejolak ekonomi terjadi.
Kondisi ekonomi yang bergejolak ini juga berdampak pada pelambatan penerimaan perpajakan negara.
Oleh karena itu, lanjut Eric, pengelolaan dari sisi belanja pemerintah lebih mudah untuk mencapai surplus keseimbangan primer. Salah satu belanja pemerintah yang cukup penting adalah subsidi energi. Harga BBM nonsubsidi mesti dinaikkan agar belanja terkendali.
Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu Askolani menambahkan, pemerintah menurunkan subsidi energi Rp 4,1 triliun dalam postur sementara Rancangan APBN 2019, menjadi Rp 159,97 triliun. Penurunan subsidi mempertimbangkan asumsi nilai tukar dan harga minyak. (KRN)