Kisah sukses usaha rintisan berbasis digital mudah sekali keluar dari mulut ke mulut. Namun, kasus kegagalan mereka jarang terungkap. Kita perlu melihat kasus per kasus untuk belajar memahami kegagalan dan mencegah pengulangan kegagalan itu. Kegagalan usaha rintisan bisa karena tindakan curang, dana yang habis, hingga masalah orang dan organisasi.
Jika dipukul rata, persentase usaha rintisan yang baru mulai, yang sudah berjalan, dan yang mendapatkan pendanaan namun gagal di tengah jalan, mencapai 90 persen. Ide dan semangat adalah modal awal menjalankan usaha rintisan, kemudian menjadikannya sebagai realitas, namun kegagalan muncul karena gagal memahami kesalahan yang sebenarnya bisa dicegah sejak awal.
Urutan kegagalan yang terjadi adalah pendiri mempunyai ide, membangun solusi, mencoba untuk menjual solusi, namun tak ada yang membeli solusi itu, pendiri kehabisan dana, lalu usaha rintisan mati.
Pada urutan proses membangun usaha rintisan, ada beberapa masalah yang sering muncul. Dalam salah satu sesi di Techinasia 2018 pekan ini terungkap, masalah pokok adalah pengelola yang kurang fokus. Semula, mereka bisa mendapatkan masalah di masyarakat, kemudian mencari jawaban. Namun, ternyata jawaban atau solusi yang diberikan tidak menjawab pertanyaan atau masalah yang ada. Akibatnya, mereka tidak bisa fokus pada satu titik. Mereka meraba-raba ke solusi yang lain sehingga sumber daya habis.
Ada juga kasus kegagalan berfokus karena banyak yang ingin dikerjakan. Ketika menjalankan usaha rintisan, mereka menemukan masalah lain dan tergoda untuk masuk. Akibatnya, banyak masalah yang ingin ditangani sehingga berpindah dari fokus utama ke fokus yang lain, bahkan terus berpindah-pindah.
Tim yang menjalankan sejumlah pekerjaan di dalam usaha rintisan bakal lelah dengan kondisi seperti ini.
Kepemimpinan yang buruk juga menjadi masalah. Dana besar sudah tersedia, namun kultur lama masih melekat di dalam orang-orang lama yang menjalankan usaha baru. Pendiri sekaligus investor pertama hanya begitu saja memasrahkan usaha ke pengelola tanpa memberi arahan yang tepat. Akibatnya, usaha rintisan berjalan tanpa arah dan hanya menghabiskan dana. Fenomena ini disebut ganti platform, namun dikerjakan orang yang sama.
Beberapa usaha rintisan mengakui jika rencana bisnis mereka menghadapi kenyataan pasar yang tidak siap. Layanan dengan menyasar kelas tertentu ternyata menghadapi kenyataan pasar tersebut belum siap mengadopsi layanan dengan basis digital. Disamping itu, ada beberapa masalah lain, seperti semangat mengelola yang hilang, dana yang habis, masalah teknis yang mikro namun tak tertangani, hingga model bisnis yang salah.
Bram Krommenhoek, orang yang mengaku pendiri usaha rintisan yang gagal, dalam sebuah tulisannya di The Startup menceritakan, saat lulus dari perguruan tinggi, ia memiliki banyak ide, namun sulit menelurkan ide itu ke dalam realitas. Ia juga bercerita, sudah mendirikan 20 usaha rintisan. Seperti yang terungkap di Techinasia 2018, masalah utama adalah pendiri yang tidak fokus. Ia menyebutkan, sebanyak 42 persen kegagalan usaha rintisan karena masalah ini.
Untuk itu, ia menyarankan agar pendiri fokus pada membangun usaha dengan tujuan menyelesaikan masalah yang ada di masyarakat. Keberhasilan muncul kalau mereka bisa menyelesaikan masalah yang dibutuhkan pasar. Pendiri tidak perlu tergoda untuk mencari hal-hal yang mempercantik penampilan usaha rintisan, namun tetap fokus membantu konsumen dalam menyelesaikan masalah mereka yang dirasa berat.
Pekerjaan-pekerjaan mempercantik penampilan usaha rintisan di tahap awal hanya akan menghabiskan tenaga dan tidak akan membimbing ke sebuah pencapaian bisnis yang besar. Pada tahap ini, pendiri lebih baik mendengarkan umpan balik dari konsumen dan memperhatikan saran mereka sepahit apa pun dibandingkan pekerjaan lain-lain yang membuang tenaga dan dana. Berfokuslah pada produk dan pengguna. (ANDREAS MARYOTO)