JAKARTA, KOMPAS --Bank Indonesia memperkirakan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2018 melambat seiring dengan penurunan ekspor yang disertai derasnya arus impor. Konsumsi masyarakat juga diperkirakan menahan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada Juli-September.
“Pelambatan pertumbuhan ekonomi tidak disebabkan faktor domestik karena konsumsi tetap baik. Pertumbuhan yang melambat menunjukkan adanya proses perbaikan, walau proses ini tidak secepat yang sebelumnya dibayangkan,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo di Jakarta, Jumat (26/10/2018).
Menurut dia, selisih antara ekspor dan impor Indonesia menyebabkan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2018 kurang dari 5,2 persen. Arus ekspor yang diharapkan mampu memicu pertumbuhan ekonomi belum maksimal akibat permintaan global yang rendah.
Pertumbuhan impor pada Juli-Agustus 2018, menurut Perry, relatif kuat. Hal ini ditopang kebutuhan pembangunan infrastruktur jangka panjang di dalam negeri serta posisi Indonesia sebagai importir bersih minyak mentah di tengah harga minyak dunia yang melambung.
Kebijakan pengendalian impor baru mulai dirasakan dampaknya pada September 2018. Salah satu komoditas impor, yaitu minyak dan gas, tercatat turun 25,2 persen pada September 2018, dampak dari penerapan mandatori B20 sejak 1 September 2018.
Namun, menurut Perry, selisih antara ekspor dan impor hingga Oktober 2018 belum menunjukkan kontribusi yang positif.
“Ini alasannya kenapa pertumbuhan ekonomi masih di bawah titik tengah,” ujarnya.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), pertumbuhan ekonomi triwulan II-2018 mencapai 5,27 persen atau lebih tinggi dari triwulan I-2018 yang sebesar 5,06 persen. Pertumbuhan ekonomi pada triwulan II-2018 juga lebih tinggi dibandingkan dengan triwulan II-2017, yakni sebesar 5,01 persen.
Perry optimistis pertumbuhan ekonomi triwulan IV-2018 akan kembali meningkat. Sebab, jika melihat pertumbuhan konsumsi rumah tangga secara tahunan yang berkisar lima persen, maka daya beli masyarakat masih terjaga. Investasi yang tumbuh di atas 7 persen pada triwulan III-2018 juga menunjukkan geliat ekonomi masih terjaga.
“Sumber pertumbuhan cukup sehat, daya beli cukup bagus, karena antara lain tingkat harganya terkendali. Meski pertumbuhan ekonomi di triwulan III-2018 berada di bawah angka 5,2 persen, angka tersebut bakal naik pada triwulan IV-2018,” ujarnya.
Perry menegaskan, kebijakan bank sentral akan selalu diarahkan untuk menciptakan stabilitas serta memastikan aset keuangan domestik menarik di mata investor. Hal ini untuk memancing aliran modal masuk ke pasar keuangan Indonesia.
Suku bunga
Lebih lanjut Perry menyampaikan, keputusan mempertahankan suku bunga acuan BI pada posisi 5,75 persen berdampak pada imbal hasil savings bond ritel (SBR) seri SBR003 tetap 6,8 persen per tahun. Besaran kupon tersebut dianggap masih lebih menarik dibandingkan dengan imbal hasil obligasi AS atau US Treasury Bond 10 tahun yang berkisar 3,1-3,2 persen.
“BI akan terus mengkalibrasi dinamika perekonomian global dalam menentukan arah kebijakannya ke depan. Untuk saat ini, BI merasa aset keuangan di pasar domestik masih cukup menarik,” ujarnya.
Pada Selasa (23/10), Rapat Dewan Gubernur BI memutuskan untuk menjaga suku bunga acuan BI pada 5,75 persen. Pada Mei-September 2018, BI menaikkan suku bunga acuan BI sebesar 1,5 persen.
Magnet arus investasi asing diharapkan dapat memperbaiki neraca pembayaran Indonesia. Sebab, defisit transaksi berjalan Indonesia triwulan III-2018 diproyeksikan BI lebih besar dari 3 persen produk domestik bruto (PDB).
"Wajar kalau triwulan III defisit transaksi berjalan masih di atas 3 persen PDB, tetapi tidak akan lebih dari 3,5 persen PDB. Hasil kebijakan akan semakin nyata di triwulan IV, defisit transaksi berjalan akan turun lebih jauh," tambah Perry.
Pada triwulan II-2018, defisit transaksi berjalan 8 miliar dollar AS atau 3,04 persen PDB.
Peneliti Institute For Development of Economics and Finance (Indef), Abdul Manan, berpendapat, proyeksi BI terhadap pelambatan pertumbuhan ekonomi triwulan III-2018 rasional karena terjadi penurunan konsumsi. Sebab, sekitar 50 persen pertumbuhan ekonomi Indonesia ditopang konsumsi.
Konsumsi masyarakat yang menurun, kata Manan, terjadi karena sudah tidak ada efek Lebaran yang mendorong konsumsi. Adapun untuk acara internasional seperti pertemuan tahunan Dana Moneter Internasional-Bank Dunia di Bali dan Asian Games di Jakarta dan Palembang, menurut dia, tidak terlalu signifikan terhadap pertumbuhan konsumsi.
“Hal ini berbeda dengan triwulan II-2018 yang ada dorongan Hari Raya Lebaran dan tahun ajaran baru, sehingga menstimulus pertumbuhan ekonomi dari segi permintaan,” ujarnya. (DIM)