Dorong Kemandirian Ekonomi, Pemimpin Desa Perlu Berinovasi
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Untuk mewujudkan tujuan desa mandiri, pembangunan badan usaha milik desa yang menampung produk dan layanan unggulan saja tidak cukup. Pemimpin desa perlu mengakomodasi segala bentuk inovasi.
Sekretaris Jenderal Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi, Anwar Sanusi, dalam seminar Villagepreneurship untuk Pemberdayaan Ekonomi Lokal, Selasa (30/10/2018), di Jakarta, mengatakan, pada 2014 terdapat 1.022 badan usaha milik desa (bumdes). Dalam perjalanannya hingga sekarang, bumdes bertambah menjadi 41.683. Bumdes tersebut bergerak di berbagai sektor industri, seperti jasa keuangan mikro, penyaluran subsidi, dan ekonomi kreatif.
Total desa di seluruh Indonesia mencapai 74.950. Dengan kata lain, masih ada 33.267 desa belum mengembangkan bumdes. Anwar memandang, tantangan terbesar adalah kesulitan informasi memetakan kebutuhan masyarakat, sumber daya desa hingga kebingungan cara mengelola badan usaha.
"Pemerintah menginginkan satu desa satu produk unggulan sehingga tujuan desa mandiri tercapai. Keinginan ini memerlukan kolaborasi lintas kementerian dan peran swasta," ujar dia.
Menurut Anwar, sejumlah desa telah berani berinovasi untuk membantu meningkatkan perekonomian. Hanya saja, jumlahnya baru terbatas.
Deputi Inovasi Administrasi Negara, Lembaga Administrasi Negara (LAN) RI, Tri Widodo, mengatakan, LAN RI melakukan klasterisasi inovasi berdasarkan tiga bidang. Bidang pertama yaitu wajib dan mendasar, seperti pendidikan, kesehatan, dan tata ruang. Kedua, wajib dan tidak dasar meliputi antara lain, ketenagakerjaan, komunikasi dan informatika, serta kependudukan. Terakhir, bidang pilihan mencakup, antara lain pariwisata, pertanian, dan kehutanan. Sasaran kegiatan ini adalah instansi pemerintahan.
Sepanjang klasterisasi tahun 2015 hingga 2017 ditemukan sekitar 6.300 proyek inovasi, tidak melulu terkait teknologi informasi, dari instansi pemerintahan di 61 kabupaten/kota dan provinsi. Jumlah terbanyak berupa proyek inovasi kesehatan (339), kependudukan (101), komunikasi dan informatika (94), dan pariwisata (53).
Berangkat dari temuan tersebut, Tri berpendapat, inovasi belum sepenuhnya menjadi gerakan di kalangan instansi publik. Kalaupun terdapat proyek, pengembangannya masih terbatas pada sub bidang tertentu.
"Produk inovasi yang ada masih bersifat kedaerahan. Dengan kata lain, manfaat inovasi itu tidak dapat direplikasi di tempat lain," kata dia.
Bupati Kulon Progo, Hasto Wardoyo, menyebut gerakan Bela dan Beli Kulon Progo sebagai bagian memberdayakan ekonomi lokal. Contoh kegiatan yaitu beras untuk rakyat miskin diproduksi dari petani Kulon Progo, sehingga tidak perlu mendatangkan beras dari Bulog. Kegiatan ini telah berlangsung sejak 2014.
Contoh lain berkaitan dengan bantuan sosial nontunai yang digalakkan oleh pemerintah pusat. Dia menceritakan, pihaknya mengajak langsung gabungan kelompok tani untuk menyuplai beras, pengusaha telur, dan membentuk sekitar seratus warung sebagai saluran penyaluran bantuan. Warung tersebut juga telah dihubungkan dengan layanan elektronik dari bank tertentu (e-warung). Ketiga pelaku itu berasal dari dalam Kulon Progo.
Para pegawai negeri sipil juga wajib membeli beras dari petani. Setiap bulan, rata-rata volumenya mencapai 10 kilogram per orang.
"Kemandirian ekonomi lokal itu sangat penting. Kalau kita tidak membela pasar sendiri, lalu siapa?" kata Hasto.