JAKARTA, KOMPAS — Jumlah pelaku usaha rintisan di Indonesia terus meningkat. Pertumbuhan itu mesti diikuti dengan umur bisnis yang panjang. Hal itu dapat dilakukan lewat manajemen investasi dan inkubasi yang terencana.
Berdasarkan data startupranking.com, penetrasi pelaku usaha rintisan di Indonesia per 29 Oktober 2018 sebanyak 1.927 perusahaan. Jumlah usaha itu ada di peringkat keenam dunia, di bawah Jerman dan Kanada.
Mengutip Kompas (14/9/2017), Indonesia baru memiliki 1.524 usaha rintisan. Artinya, selama lebih kurang satu tahun terjadi pertambahan sebesar 403 usaha rintisan.
”Jumlah start up Indonesia memang tinggi. Permasalahannya umur start up rata-rata kurang dari tiga tahun. Cepat tumbuh tapi juga cepat layu bagi yang bisnis modelnya tidak mampu bersaing,” kata Bhima Yudhistira Adhinegara, ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), yang dihubungi Kompas lewat telepon saat sedang di Yogyakarta, Senin (29/10/2018).
Bisnis model yang aplikatif, menurut Bhima, menjadi salah satu faktor untuk membuat usaha rintisan terus berkembang. Formulasi bisnis tidak sekadar mengandalkan kecanggihan, tapi juga bermanfaat. Misalnya, menjadi solusi bagi permasalahan yang ada.
Para pelaku usaha rintisan perlu memikirkan jangka panjang keberlangsungan usahanya dengan tidak mengejar valuasi jangka pendek. Selain itu, pendanaan suatu usaha rintisan perlu diperhatikan mengingat modal ventura Indonesia yang masuk ke bisnis digital masih terbatas.
”Bank pun menghindari pendanaan start up karena alasan risiko yang tinggi. Di situlah perlu kerja sama di antara pemerintah, Otoritas Jasa Keuangan, dan perbankan untuk relaksasi aturan kredit ke perusahaan rintisan, baik soal jaminan, bunga, maupun tenor cicilan,” ujar Bhima.
Manajemen investasi
Manajemen investasi merupakan salah satu faktor kegagalan pelaku usaha rintisan yang tidak dapat bertahan lama. Menurut Luthfan Herdyanto, Regional Development Lead-Central Java Cocowork, para pelaku usaha perlu memperhatikan manajemen investasi. Hal itu disebabkan kurangnya perhitungan dalam mengelola keuangan.
Sementara itu, Direktur Akses Nonperbankan Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Syaifullah menyampaikan, salah satu masalah usaha rintisan di Indonesia adalah pendanaan. Ide yang bagus akan hilang karena kehabisan dana pada dua sampai tiga tahun pertama.
”Oleh sebab itu, kami mendorong untuk financial literacy dan manajerial keuangan suatu usaha rintisan agar dapat melalui lembah kematian (death of valley). Setidaknya harus bisa melewati masa-masa kritis dua sampai tiga tahun pertama,” kata Syaifullah.
Adapun, Bekraf sama dengan sejumlah pemangku kepentingan meluncurkan suatu platform yang disebut GoStartUpIndonesia (GSI) pada 6 September 2018. Sebagai langkah awal, GSI Mentoring and Pitching telah melakukan roadshow ke tujuh kota di Indonesia. Program itu bertujuan untuk meningkatkan dan mengembangkan ekosistem start up di Indonesia.
Perlunya inkubasi
Kegagalan pelaku usaha rintisan dalam mengelola usahanya perlu diantisipasi dengan mengikuti kegiatan inkubasi bisnis. Director of Ciputra Incubator and Accelerator Ivan A Sandjaja, kegiatan inkubasi berperan sangat penting untuk mematangkan usaha rintisan. Melalui kegiatan itu, para pelaku usaha rintisan didampingi untuk merencanakan strategi bisnis dan finansial usaha rintisannya.
”Kegiatan itu juga berperan sebagai penghubung antara investor dan pelaku usaha rintisan yang idenya sudah matang. Harapannya start up itu dapat berkembang menjadi model bisnis yang berkelanjutan dan besar,” ujar Ivan. (MELATI MEWANGI)