JAKARTA, KOMPAS--Lembaga Penjamin Simpanan menaikkan suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah di bank umum dan bank perkreditan rakyat masing-masing 25 basis poin menjadi 6,75 persen dan 9,25 persen. Langkah itu untuk merespons kondisi likuiditas rupiah industri perbankan yang semakin ketat.
Kenaikan suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah diputuskan dalam Rapat Dewan Komisioner (RDK) LPS, Senin (29/10/2018). Tingkat suku bunga penjaminan berlaku pada 31 Oktober 2018-12 Januari 2019.
Pada pertengahan September 2018, LPS telah menaikkan suku bunga penjaminan untuk simpanan rupiah di bank umum dan bak perkreditan rakyat (BPR) masing-masing 25 basis poin (bps), serta simpanan valuta asing 50 bps. Suku bunga penjaminan simpanan valas di bank umum saat ini 2 persen.
Anggota Dewan Komisioner LPS, Destry Damayanti, menjelaskan, suku bunga penjaminan naik karena berbagai pertimbangan, terutama risiko likuiditas perbankan dalam merespons kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia dan Bank Sentral Amerika Serikat, The Fed. Tren likuiditas valas dan rupiah perbankan semakin ketat.
Berdasarkan data LPS, rasio pinjaman terhadap simpanan (LDR) bank umum naik dari 94,16 persen pada Agustus 2018 menjadi 94,27 pada September 2018. Rasio LDR September 2018 merupakan yang tertinggi sejak Januari 2013. Pada periode itu, kredit tumbuh 13 persen, sedangkan dana pihak ketiga tumbuh 6,62 persen.
“Rasio pinjaman terhadap simpanan yang sudah di luar batas aman BI patut diwaspadai. Proyeksi LPS, rasio LDR sampai akhir tahun 2018 berkisar 93-94 persen,” kata Destry dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (30/10/2018).
Menghadapi kondisi ini, Destry menyarankan perbankan lebih berhati-hati dan selektif menyalurkan kredit. Likuditas rupiah di perbankan semakin mengetat karena penyaluran kredit tumbuh cukup tinggi, sedangkan pertumbuhan DPK cenderung turun. Akibatnya, dana cadangan perbankan berkurang sehingga likuiditas terganggu.
Kepala Eksekutif LPS Fauzi Ichsan mengatakan, isu utama perbankan saat ini bukan modal yang minim, tetapi menggalang likuiditas untuk bank umum kegiatan usaha (BUKU) tiga dengan modal inti Rp 5 triliun-Rp 30 triliun. “DPK turun karena berakhirnya kebijakan pengampunan pajak dan perebutan dana di pasar obligasi,” kata Fauzi.
Direktur Eksekutif Riset, Surveilans, dan Pemeriksaan Bank LPS Didik Madiyono menambahkan, data simpanan valas di bank umum naik 5,14 persen dari Rp 784 triliun pada Agustus 2018 menjadi Rp 824 triliun pada September 2018.
Tantangan
Sementara itu, tantangan ekonomi pada 2019 diproyeksikan semakin berat. Faktor risiko global masih tinggi dan akan berpengaruh terhadap likuiditas dan neraca perdagangan Indonesia.
Di dalam negeri, tahun depan telah memasuki tahun politik. Para pelaku usaha diperkirakan lebih berhati-hati untuk ekspansi dan investasi.
Hal itu mengemuka dalam Forum Infobank Top 100 Bankers ke-2 bertema "Bagaimana Memberi Arah Perusahaan Di Tengah Gejolak Global dan Tahun Politik 2019" di Jakarta, Selasa (30/10/201).
CEO Citi Indonesia Batara Sianturi menyebutkan, tekanan global pada tahun depan masih kuat, terutama dari kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS dan perang dagang AS-China.
“Sektor perbankan masih dalam kondisi cukup baik. Yang perlu mendapat perhatian dari sektor itu adalah mulai mengetatnya likuiditas, sehingga kredit berpotensi tumbuh lambat,” ujarnya. (KRN/HEN)