Melokalkan Bahan Baku
Vietnam telah memiliki peta jalan peningkatan ekspor yang terintegrasi dengan perkuatan industri sejak 2010. Negara itu bangkit dari keterpurukan pasca krisis ekonomi pada 1997 dan guncangan moneter pada 2008.
Dua lini andalan ekspor Vietnam dalam peta jalan itu adalah tekstil dan produk tekstil (TPT) serta furnitur. Kedua sektor industri itu mampu mendongkrak pertumbuhan industri manufaktur Vietnam pada semester I-2018 sebesar 13,02 persen.
Industri hilir kehutanan sebagai penopang bahan baku TPT dan furnitur juga tumbuh 5,2 persen. Hal itu tidak terlepas dari strategi integrasi perdagangan dengan industri dari hulu ke hilir. Di hulu, lokalisasi bahan baku lokal untuk industri TPT dan furnitur dibangun dan dikembangkan.
Untuk mengurangi ketergantungan impor kapas, Vietnam membangun industri kapas -yang terintegrasi dengan perkebunan kapas- bernama Rang Dong Industrial Park seluas 1.500 hektar di Provinsi Ninh Thuan. Rata-rata produksi kapas pada industri bernilai investasi 400 juta dollar AS itu senilai 3 miliar dollar AS per tahun.
Adapun untuk memenuhi bahan baku furnitur, Vietnam menerapkan sistem tumpangsari berbasis masyakarat. Sebelum sistem ini diterapkan, bahan bakunya berasal dari area hutan di kawasan perbatasan Kamboja-Vietnam. Kendati tertinggal dari Indonesia, namun Vietnam sedang berproses mendapatkan sertifikasi kayu dari Uni Eropa, Forest Law Enforcement, Governance and Trade (EU-FLEGT).
Dalam upaya meningkatkan ekspor, Vietnam membuat perjanjian perdagangan bebas dengan negara-negara lain secara bilateral. Vietnam juga masuk dalam kemitraan ekonomi regional komprehensif dan rantai pasok global bersama China.
Ketergantungan
Upaya melokalkan bahan baku merupakan solusi utama yang perlu dilakukan Indonesia untuk mengurangi ketergantungan impor. Substitusi impor memang soluai atas persoalan klasik yang digaungkan sejak lama. Tingginya impor, baik minyak dan gas bumi (migas) maupun nonmigas, menyebabkan neraca perdagangan dan transaksi berjalan Indonesia defisit.
Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, neraca perdagangan Indonesia Januari-September 2018 defisit 3,78 miliar dollar AS. Pada periode itu, neraca perdagangan bulanan yang surplus hanya pada Maret, Juni, dan September. Pada bulan-bulan lainnya, neraca perdagangan defisit.
Adapun jika ditilik berdasarkan golongan penggunaannya, impor bahan baku atau bahan penolong pada Januari-September 2018 sebesar 75,02 persen dari total impor. Adapun sisanya berupa barang modal (15,78 persen) dan barang konsumsi (9,2 persen). Nilai impor pada Januari-September 2018 sebesar 138,768 miliar dollar AS.
Untuk furnitur, Indonesia memang lebih unggul dari negara-negara lain yang juga memproduksi furnitur. Indonesia memiliki bahan baku lokal dari Perhutani dan kayu rakyat. Indonesia juga menjadi satu-satunya negara di Asia yang mengantongi sertifikasi EU-FLEGT. Tinggal bagaimana Indonesia meningkatkan desain sesuai permintaan pasar dan membuat biaya logistik lebih murah lagi.
Sementara, untuk TPT, bahan baku utama, terutama kapas dan benang, masih impor.
Kebutuhan impor setiap industri TPT beragam, yakni berkisar 60-90 persen. Indonesia sebenarnya dapat membangun kembali industri hulu kapas dengan memetakan dan membangun kembali daerah-dareah produsen kapas.
Pada zaman kolonial, Indonesia pernah miliki daerah-daerah penghasil kapas di Pati, Kudus, dan Jepara, di Jawa Tengah. Kapas, biji kapas, dan minyak biji kapas diekspor ke sejumlah negara di Eropa dan Asia. Tidak mengherankan jika waktu itu nama Java Kapok dikenal di seantero dunia. Dalam bukunya History of Java, Thomas Stamford Raffles menyebutkan, kapas dari Jawa dikirim ke China dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan dengan harga kapas dari India bagian Barat.
Saat ini, sisa-sisa kejayaan itu masih hidup dan perlu dikembangkan kembali. Di Karaban, Kabupaten Pati, pada 2015, masih ada 40 tempat usaha pengolahan dan pengepakan kapas, 1.300 perajin kasur, 2.000 buruh pengolah dan pengepak kapas, serta 1.000 tenaga pemasaran kasur dan kapas.
Untuk itu, strategi perdagangan perlu terintegrasi dengan industri, dengan cara mengesampingkan ego sektoral. Peningkatan ekspor Indonesia perlu didukung dengan perkuatan industri dari hulu hingga hilir. Masihkah hal ini akan kembali tertunda dan menjadi pekerjaan rumah yang tak terselesaikan? (Hendriyo Widi)