Arab Saudi dikabarkan akan membangun pembangkit listrik tenaga surya berkapasitas 200.000 megawatt hingga 2030. Padahal, Arab Saudi adalah negara penghasil hampir 10 juta barrel minyak per hari dengan cadangan minyak terbukti 266,2 miliar barrel. Sebuah proyek energi terbarukan yang ambisius di atas ladang minyak.
Pada Maret 2018, Putra Mahkota Arab Saudi Mohammad bin Salman menandatangani nota kerja sama dengan CEO Softbank, perusahaan multinasional asal Jepang, Masayoshi Son. Kedua belah pihak sepakat untuk mengembangkan proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga surya (PLTS) berkapasitas 200.000 megawat (MW) dengan nilai proyek 200 miliar dollar atau setara Rp 3.000 triliun!
Nilai tersebut jauh melampaui pendapatan APBN Indonesia 2019 yang sebesar Rp 2.165,1 triliun atau penerimaan APBN Indonesia yang sebesar Rp 2.461,1 triliun.
Mengapa Arab Saudi meminati tenaga surya, sementara minyak mentah di negara itu melimpah ruah? Dalam artikel yang ditulis Ellen R Wald di laman Forbes, Arab Saudi ingin melakukan diversifikasi energi yang tak melulu mengandalkan minyak bumi. Diversifikasi ini tak hanya soal ketahanan energi, melainkan juga soal penerimaan negara.
Memanen tenaga surya untuk listrik di gurun yang panas diyakini lebih efisien ketimbang listrik dari minyak atau gas bumi. Dengan demikian, Arab Saudi bisa mengurangi pemakaian minyak di dalam negeri, sehingga bisa menjual minyak dengan jumlah lebih banyak. Apalagi, sejak era 1970-an, sebagian fasilitas Saudi Aramco (perusahaan BUMN Arab Saudi) sudah menggunakan panel surya untuk kebutuhan daya listrik.
Kendati dalam artikel di Forbes ditulis bahwa proyek tersebut bukanlah sesuatu yang benar-benar baru, namun yang ditempuh Arab Saudi itu cukup visioner. Cadangan minyak mentah mereka yang sebanyak ratusan miliar barrel tidak membuat terlena. Mereka sudah memulai langkah maju dengan memanfaatkan sumber energi terbarukan yang jumlahnya cukup ambisius, yakni 200.000 megawatt. Bandingkan dengan kapasitas terpasang daya listrik di Indonesia yang saat ini sekitar 60.000 megawatt dengan porsi PLTS masih kurang dari 100 megawatt.
Bagaimana di Indonesia? Dalam dokumen Rencana Umum Energi Nasional, kapasitas terpasang PLTS di seluruh wilayah di Indonesia sebanyak 207.989 megawatt. Adapun kapasitas terpasang hanya 100 megawatt, atau hanya 0,0004 persennya. Kecil sekali!
Pengembangan energi terbarukan di Indonesia, yang tak hanya tenaga surya, banyak menemui kendala. Seperti dalam buku Outlook Energi Indonesia 2018 yang diterbitkan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, kendala tersebut antara lain biaya investasi yang mahal, efisiensi teknologi yang rendah, kondisi geografis, dan faktor sosial masyarakat selaku pengguna energi. Indonesia masih banyak bergantung pada batubara, minyak, dan gas bumi.
Begitu juga yang terjadi dalam pengembangan PLTS. Bahkan, untuk regulasi yang mengatur pemanfaatan PLTS pada atap bangunan masih terjadi tarik ulur. Hingga kini, rancangan Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral mengenai pemanfaatan PLTS pada atap bangunan tak kunjung terbit. Ternyata, masih perlu dibahas lebih jauh, apakah sektor industri bisa dimasukkan sebagai konsumen PLN yang dapat menjual tenaga listrik dari PLTS atap ke PLN atau tidak.
Negara lain bisa mengembangkan energi baru dan terbarukan. Mengapa di Indonesia tidak? Padahal, ketergantungan Indonesia terhadap minyak sudah menyalakan alarm defisit perdagangan migas. Dengan cadangan minyak yang hanya 3 miliar barrel, Indonesia seharusnya lebih cemas dari Arab Saudi. Upaya apa saja yang sudah dilakukan? (Aris Prasetyo)