JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah mematangkan rencana diversifikasi denominasi Surat Utang Negara selain dalam dollar AS, euro, dan yen. Diversifikasi ini untuk memitigasi risiko ketidakpastian global seiring kenaikan suku bunga acuan di beberapa negara.
Berdasarkan data Bank Indonesia yang dikutip Kompas, Minggu (4/11/2018), utang luar negeri Indonesia per akhir Agustus 2018 sebesar 360,724 miliar dollar AS. Dengan nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, Jumat (2/11/2018), yakni Rp 15.089 per dollar AS, utang luar negeri itu setara Rp 5.442 triliun.
Posisi utang luar negeri pemerintah meningkat dari bulan sebelumnya akibat penarikan bersih pinjaman, terutama pinjaman multilateral, serta pembelian bersih Surat Berharga Negara (SBN) domestik oleh investor asing.
Setiap tahun pemerintah menerbitkan Surat Utang Negara (SUN) denominasi valuta asing untuk membiayai belanja dalam negeri. Penerbitan SUN dengan denominasi valas merupakan strategi diversifikasi utang luar negeri di tengah ketidakpastian global. Sejauh ini ada tiga SUN valas yang sudah diterbitkan, yaitu dalam dollar AS (US Treasury), Euro (Euro Bond), dan Yen (Samurai Bond).
Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan Luky Alfirman menjawab pertanyaan Kompas di Jakarta, pekan lalu, menjelaskan, komposisi mata uang dan target penerbitan kotor (gross issuance) SUN tahun 2019 masih dimatangkan. Pemerintah juga sedang mengkaji penerbitan SUN dalam mata uang renminbi atau panda bond.
”Penerbitan surat utang pemerintah tahun 2019 akan dikonsultasikan dengan Bank Indonesia lebih dulu,” kata Luky.
Penerbitan SUN denominasi renminbi menjadi pertimbangan pemerintah karena nilai tukar yang tidak terlalu tinggi dan suku bunga acuan yang relatif stabil di kisaran 2,5 persen. Saat ini normalisasi kebijakan moneter Amerika Serikat melalui peningkatan suku bunga acuan mengakibatkan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS tertekan sehingga bunga utang naik.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, pertumbuhan pembiayaan utang yang turun menunjukkan kesehatan dan kemandirian APBN. Pembiayaan utang menurun dari Rp 429,1 triliun tahun 2017 menjadi Rp 387,4 triliun dalam proyeksi APBN 2018. Pada 2019, pembiayaan utang ditargetkan menjadi Rp 359,3 triliun.
Meski demikian, tantangan pengelolaan utang masih didominasi lanjutan kenaikan suku bunga acuan AS, pertumbuhan ekonomi Eropa dan Jepang yang diperkirakan datar, serta tekanan defisit transaksi berjalan. ”Untuk itu, utang diprioritaskan dalam rupiah agar tetap resilient terhadap gejolak nilai tukar. Potensi investor domestik dioptimalkan dan kepemilikan asing dikendalikan,” kata Sri Mulyani. (KRN)