Bekraf Berharap UU Pengembangan Ekonomi Kreatif Disahkan pada 2019
Oleh
Mediana
·2 menit baca
NUSA DUA, KOMPAS — Badan Ekonomi Kreatif berharap Indonesia bisa memiliki Undang-Undang Pengembangan Ekonomi Kreatif pada 2019. Peraturan perundang-undangan ini berfungsi sebagai payung hukum yang mengakomodasi kepentingan industri kreatif.
”Dewan Perwakilan Daerah (DPD) mulanya mengusulkan perlu ada undang-undang khusus terkait ekonomi kreatif. Kemudian, draf beserta pembahasannya dilakukan oleh kami bersama Komisi X DPR RI. Saat ini, pembahasan masih berlangsung,” tutur Kepala Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) Triawan Munaf di sela-sela Konferensi Dunia Ekonomi Kreatif (WCCE) 2018, Rabu (7/11/2018), di Nusa Dua, Bali.
Mengenai substansi utama, dia mengatakan, RUU Pengembangan Ekonomi Kreatif membahas lebih banyak kreativitas, inovasi, serta kaitan industri kreatif dengan teknologi digital.
Menurut Triawan, teknologi digital kini mempengaruhi ekosistem industri kreatif, mulai dari proses penciptaan hingga pemasaran produk. Oleh karena itu, RUU Pengembangan Ekonomi Kreatif harus dilihat sebagai upaya negara yang tidak membatasi kreativitas.
”Persoalan utama pengembangan industri kreatif di Indonesia terletak pada belum sinerginya kebijakan lintas kementerian dan lembaga. Ini juga menjadi latar belakang penyusunan RUU Pengembangan Ekonomi Kreatif,” ujarnya.
Berdasarkan Statistik Ekonomi Kreatif Indonesia yang diterbitkan Bekraf dan Badan Pusat Statistik (BPS) tahun 2018; pada 2010, pendapatan domestik bruto (PDB) ekonomi kreatif sebesar Rp 525,96 triliun, sedangkan pada 2016 naik menjadi Rp 922,59 triliun. Pada 2016, kontribusi Indonesia mencapai 7,44 persen, sedangkan Singapura 5,70 persen, Filipina 4,92 persen, dan Kanada 4,50 persen.
Pada 2016, jumlah usaha ekonomi kreatif sebanyak 8,2 juta unit. Sebanyak 65,37 persen tersebar di Jawa, 17,94 persen di Sumatera, dan 4,95 persen di Kalimantan. Kemudian, 6,53 persen berlokasi di Sulawesi, Maluku, dan Papua serta 5,21 persen di Bali dan Nusa Tenggara.
Pada saat bersamaan, Bekraf menandatangani nota kesepahaman (MOU) dengan Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP). MOU berkaitan dengan Youth Co:Lab Indonesia, sebuah platform pengembangan wirausaha sosial muda dan perusahaan rintisan bidang teknologi.
UNDP sendiri melahirkan Youth Co:Lab karena ingin menempatkan kaum muda sebagai bagian dari pencapaian Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs). Youth Co:Lab akan lebih fokus menggaet wirausaha dari Indonesia bagian timur.
Di Indonesia, Youth Co:Lab dipimpin oleh Innovative Financing Lab UNDP Indonesia. Youth Co:lab juga bermitra dengan Citi Foundation dan penyedia co-working space, HUBUD. Pada tahap pertama, sebanyak 15 peserta terpilih dari Papua dan Kalimantan telah menghadiri pelatihan dua minggu tentang perusahaan rintisan dan manajemen bisnis di HUBUD mulai 1 November hingga 14 November.