Ekonomi kepulauan terus dikembangkan. Berbagai upaya dilakukan melalui pembangunan infrastruktur, tol laut, jaringan telekomunikasi, perdagangan antarpulau, serta literasi dan inklusi keuangan. Tujuannya, meratakan ekonomi di seluruh penjuru Nusantara secara berkelanjutan.
Pengembangan ekonomi kepulauan ini juga dilakukan Bank Indonesia (BI) dan Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut melalui Ekspedisi Kas Keliling Pulau-Pulau Tertinggal, Terdepan, dan Terpencil pada 31 Oktober-9 November 2018. Sasarannya Pulau Kasui, Kei Kecil, Yamdena, Leti, Wetar, Alor, Pantar, dan Solor. Pulau-pulau itu di Indonesia bagian timur.
Tema ekspedisi ke-48 ini adalah “Rupiah Jelajah Nusantara, Bela Negara Tanpa Senjata”. Kegiatannya tak hanya berupa layanan kas keliling atau penukaran uang, tetapi juga sosialisasi keaslian rupiah untuk mengeliminasi peredaran uang palsu, memberikan bantuan sosial, dan pengobatan gratis. Selain itu, BI juga meneliti kemungkinan upaya riil yang dapat dilakukan untuk meningkatkan eksistensi rupiah dan pengembangan perekonomian setempat.
Sejak ekspedisi itu digulirkan pada 2012, kendala yang selalu dihadapi, terutama untuk wilayah Indonesia bagian timur, adalah infrastruktur, transportasi, dan cuaca. Di Pulau Kasui, Maluku, misalnya, pelabuhannya belum dapat didarati kapal-kapal besar. Untuk mencapai daratan, petugas layanan kas keliling harus menggunakan sekoci.
Adapun di Saumlaki, Pulau Yamdena, Maluku Tenggara Barat, petugas layanan kas keliling harus berhadapan dengan gelombang tinggi Laut Banda. Ketika Kompas mengikuti Ekspedisi Kas Keliling menggunakan KRI Sultan Nuku dari Tual, Pulau Kei Kecil, menuju Saumlaki, Pulau Yamdena, perjalanan membutuhkan waktu sekitar 17 jam. Hampir sepanjang perjalanan kapal terguncang gelombang setinggi 2-3 meter.
Jalur udara sebenarnya juga bisa menjadi pilihan untuk pulau-pulau yang sudah memiliki bandara, seperti Pulau Kei Kecil dan Pulau Yamdena. Waktu tempuh pesawat komersial menuju kedua pulau itu dari Ambon sekitar 1 jam 30 menit. Namun biaya penerbangan masih relatif mahal, yaitu sekitar Rp 1,4 juta per orang.
BI terus mengembangkan jalur distribusi uang tunai. Tujuannya, menjaga kelancaran sistem pembayaran, khususnya uang tunai, sebagai urat nadi perekonomian. Untuk wilayah kepulauan, selama ini BI telah bekerja sama dengan TNI AL, PT Pelayaran Nasional Indonesia (Persero), dan Direktorat Polisi Air, Kepolisian RI. BI juga tengah membahas kerja sama pemanfaatan tol laut dengan Kementerian Perhubungan.
Kedaulatan
Kehadiran rupiah di pulau-pulau terdepan dan terpencil itu sangat dibutuhkan masyarakat. Banyak uang kertas yang sudah lusuh, robek, dan dicorat-coret. Khusus di wilayah perbatasan dengan negara lain, masih banyak uang negara lain yang beredar dan digunakan untuk bertransaksi. Selain itu, masyarakat membutuhkan sosialisasi perihal cara membedakan uang asli dan uang palsu guna menekan peredaran uang palsu.
Perjalanan rupiah menjelajah Nusantara merupakan perjalanan ke-Indonesia-an. Setelah Oeang Republik Indonesia (ORI) resmi dipakai menggantikan uang Jepang dan Belanda pada 1946, pendistribusian ORI ke penjuru Nusantara juga mengalami kesulitan. Masih banyak daerah-daerah yang dikuasai Belanda. Saat itu, pemerintah Indonesia meminta setiap daerah mencetak ORI sendiri. Tidak heran, jika pada periode 1947-1974, Sumatera, Riau, dan Irian Barat memiliki rupiah versi masing-masing daerah.
Dalam Ekspedisi Kas Keliling, Kepala Departemen Pengelolaan Uang Bank Indonesia Heru Pranoto dan Asisten Operasi Gugus Keamanan Laut Armada III TNI AL Kolonel Ronald Arun menyatakan, upaya menghadirkan rupiah di daerah-daerah perbatasan dan pulau-pulau terdepan juga merupakan bentuk menjaga kedaulatan Indonesia. Proklamator Kemerdekaan RI Mohammad Hatta telah menggaungkan itu sejak peluncuran ORI secara perdana pada 29 Oktober 1946 di Yogyakarta.
“Dengan ini, tutuplah suatu masa dalam sejarah keuangan Republik Indonesia. Masa yang penuh dengan penderitaan dan kesukaran bagi rakyat kita. Uang sendiri itu adalah tanda kemerdekaan Negara,” kata Bung Hatta. (Hendriyo Widi)