Diramalkan, mulai 2028, investasi pembangunan pembangkit listrik tenaga surya akan lebih murah ketimbang menjalankan pembangkit listrik tenaga uap yang berbahan bakar batubara. Harga listrik dari tenaga surya diperkirakan di bawah harga listrik dari pembakaran batubara yang saat ini sekitar 6 sen dollar AS per kilowatt jam. Teknologi punya andil besar.
Proyeksi tersebut dipaparkan Carbon Tracker, lembaga yang melakukan analisis tinjauan dampak tren ekonomi dan finansial global terhadap aset pembangkit listrik, pekan lalu. Hasil penelitian Carbon Tracker menyebutkan, perjanjian global terkait rencana penurunan emisi gas rumah kaca (Perjanjian Paris) mendorong percepatan peralihan pemakaian batubara ke sumber energi yang lebih ramah lingkungan. Tenaga surya adalah salah satu sumber energi terbarukan yang lebih ramah lingkungan, disamping tenaga bayu dan hidro.
Faktor lain adalah perkembangan teknologi panel surya yang disebut kian maju dan efisien. Di sejumlah negara, harga listrik tenaga surya hanya separuh dari harga listrik tenaga uap. Memang, untuk kasus ini masih timbul perdebatan, seperti skema fiskal di negara tersebut, besaran kapasitas terpasang, serta berbagai kebijakan lain yang terkait.
Satu hal yang sebenarnya sangat signifikan adalah keandalan pasokan sumber energinya. Batubara adalah energi fosil yang tidak terbarukan. Suatu saat, cadangannya pasti habis. Ini hanya persoalan waktu. Demikian pula harga batubara yang fluktuatif bergantung pada kondisi pasar. Naik dan turunnya harga batubara berpengaruh langsung terhadap harga jual listrik ke konsumen. Kondisi ini berdampak kuat terhadap perencanaan investasi.
Bagaimana dengan tenaga surya? Dipastikan sumber energi jenis ini tidak akan pernah habis. Tidak pula terpengaruh naik dan turunnya sumber energi lain, seperti batubara atau minyak mentah. Investasi diperlukan untuk pembangunan baru, operasional, dan perawatan. Tidak ada pembelian sumber energi pembangkit.
Apakah tenaga surya dan jenis energi terbarukan lainnya bakal mengancam masa depan pembangkit listrik berbahan bakar batubara? Ya, demikian setidaknya salah satu hasil analisis Carbon Tracker. Melalui penelitian yang dilakukan di tiga negara, yaitu Indonesia, Vietnam, dan Filipina, ada potensi aset terbengkalai atau menganggur (mesin PLTU) senilai 60 miliar dollar AS. Hal ini akan terjadi jika tarif listrik tenaga surya benar-benar lebih murah dari pembakaran batubara pada 2028.
Di Indonesia, polemik pembangunan PLTU cukup intens. Sejumlah kalangan, terutama dari kelompok idealis yang pro lingkungan hijau, menginginkan tidak ada lagi pembangunan PLTU baru. Alasannya, pembakaran batubara menghasilkan gas buang yang mencemari udara dan lingkungan sekitar. Selain itu, langkah ini kontra produktif terhadap Perjanjian Paris, juga turut ditandatangani Indonesia.
Sementara, dari sudut pandang pengembang PLTU, setidaknya pengusaha, sumber pencemaran terbesar bukan dari pembakaran batubara. Apalagi, saat ini sudah ada teknologi yang dinamai ultra super critical yang meminimalkan dampak gas buangnya. Bahkan, ada salah satu pengusaha yang menyebutkan, sumber pencemaran terbesar untuk udara datang dari kendaraan bermotor di kota-kota besar, bukan dari asap mesin PLTU.
Ada segudang alasan mengapa batubara menjadi sumber energi utama pembangkit listrik di Indonesia, yaitu hampir 60 persen dalam bauran energi pembangkit. Alasannya, cadangannya melimpah, yang dalam sebuah studi disebutkan, cukup hingga 75 tahun ke depan. Selain itu, bisnis batubara adalah bisnis bernilai triliunan rupiah. Bisnis batubara di Indonesia bahkan melibatkan urusan politik dan kekuasaan.
Indonesia sudah memiliki komitmen untuk mengurangi pemakaian batubara, serta sebaliknya, mendorong pemakaian sumber energi terbarukan. Hanya saja, kemajuan dari realisasi komitmen ini belum seperti yang diharapkan. Sesuai sifatnya yang tak terbarukan, suatu saat batubara akan habis. Dengan demikian, skenario pengembangan energi terbarukan tak boleh diabaikan dan diremehkan. (ARIS PRASETYO)