Defisit Semakin Dalam
JAKARTA, KOMPAS--Defisit transaksi berjalan Indonesia pada triwulan III-2018 semakin dalam. Meski demikian, defisit ini diyakini tidak akan mengganggu tren penguatan rupiah.
Namun, pemerintah dan pemangku kepentingan terkait tetap perlu menekan defisit itu agar tidak semakin dalam.
Data Bank Indonesia (BI) menunjukkan, defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2018 sebesar 8,846 miliar dolar AS atau 3,37 persen produk domestik bruto (PDB). Secara kumulatif, defisit neraca transaksi berjalan hingga triwulan III-2018 sebesar 2,86 persen PDB. BI menilai, defisit secara kumulatif itu tak melebihi batas aman 3 persen PDB.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, A Tony Prasetiantono kepada Kompas, Jumat (9/11/2018), mengatakan, defisit transaksi berjalan tampaknya belum akan mengganggu tren penguatan rupiah.
“Meski demikian, pemerintah tetap harus berupaya menekan defisit itu, terutama di sektor migas dan jasa, agar hingga akhir tahun tidak melebihi batas aman 3 persen PDB. Selain itu, momentum penguatan rupiah yang di bawah Rp 15.000 per dollar AS harus tetap dijaga,” kata Tony.
BI melihat, defisit transaksi berjalan yang semakin dalam itu dipengaruhi penurunan kinerja neraca perdagangan barang dan peningkatan defisit neraca jasa. Penurunan kinerja neraca perdagangan barang terutama dipengaruhi peningkatan defisit neraca perdagangan migas dan surplus neraca perdagangan nonmigas yang terbatas akibat impor yang tinggi. Adapun peningkatan defisit transaksi jasa terutama berasal dari sektor jasa transportasi.
Kepala Departemen Pengelolaan Moneter BI Nanang Hendarsah menyampaikan, kendati defisit transaksi berjalan kian dalam, namun BI melihat, investor asing menilai perekonomian Indonesia menarik. Hal itu terlihat dari surplus neraca modal dan finansial triwulan III-2018 yang sebesar 4,2 miliar dollar AS.
Dalam dua bulan terakhir, arus modal asing yang masuk ke pasar surat berharga negara (SBN) akan meningkatkan surplus neraca modal dan finansial pada triwulan IV-2018. Sejak 1 Oktober-8 November 2018, arus dana asing yang masuk SBN sebesar Rp 31,65 triliun.
“Dengan langkah kebijakan yang ditempuh pemerintah dan BI, seharusnya defisit transaksi berjalan akan sedikit di bawah 3 persen untuk 2018,” ujarnya.
Masih wajar
Sementara itu, Bank Indonesia menilai penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS yang cepat masih wajar. Penguatan rupiah ini menandakan sistem pasar bekerja baik, sehingga rupiah memiliki ruang untuk kembali menguat di tengah-tengah ketidakpastian keuangan global.
Berdasarkan kurs referensi Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor), Jumat, nilai tukar sebesar Rp 14.632 per dollar AS. Sejak 2 November 2018, rupiah telah menguat 3,08 persen.
Nanang mengatakan, penguatan tajam rupiah yang terjadi belakangan merupakan dinamika pasar yang wajar. BI melihat likuiditas valuta asing di pasar terjaga di tengah aktivitas pasar antar bank yang sangat aktif. Mekanisme pasar berjalan sangat efisien.
“Pada Jumat, eksportir menjual valas 464 juta dollar AS, melebihi pembelian importir sebesar 429 juta dollar AS. Pada intinya, ini merupakan bagian dari dinamika pasar yang tidak perlu dikhawatirkan,” ujarnya.
Tony menilai, penguatan rupiah yang cukup tajam itu masih wajar. Sebab, kinerja perekonomian Indonesia lebih baik daripada negara-negara berkembang lain. Kendati begitu, risiko akan muncul dari kenaikan suku bunga Bank Sentral AS pada Desember tahun ini. Hal itu dapat menekan rupiah kembali.
“Faktor lain juga bisa berpengaruh adalah harga minyak mentah dunia yang mulai menuju ke level yang lebih masuk akal, yakni sekitar 70 dollar AS per barrel, daripada sebelumnya yang sekitar 80 dollar AS per barrel,” ujarnya.
Tony menambahkan, pemerintah sebaiknya menahan atau tidak perlu mengubah kembali asumsi rupiah dalam RAPBN 2019. Kalau hal itu diubah justru akan menimbulkan kebingungan pasar. (HEN)