Sebuah pernyataan menggelitik terkait demografi disampaikan Kepala Ekonom Bank Mandiri Anton Gunawan pada Seminar Economic Outlook bertajuk Riding the Wave of Uncertain Global Normalization. Seminar tersebut digelar PT Bank KEB Hana Indonesia.
Saat itu, Anton mengatakan, agar jangan sampai kita tua sebelum kaya. Pernyataan ini didudukkan pada konteks kondisi demografi Indonesia menjelang, saat, dan pasca tahun 2030.
Rasio ketergantungan -menggambarkan jumlah penduduk tua dan sangat muda yang mau tidak mau ditanggung oleh kelompok muda dan produktif - saat ini terus menurun. Kondisi ini diperkirakan masih akan terjadi hingga sekitar tahun 2030. Ini sering disebut bonus demografi.
Manfaat bonus demografi tersebut baru akan dipetik kalau kita memang bisa mengelolanya. Akan tetapi, ada syaratnya, antara lain, jika kita -sebagai bangsa- mampu meningkatkan kapasitas sumber daya manusia (SDM), meningkatkan produktivitas, dan memperbaiki indeks pembangunan manusia.
Selepas 2030, rasio ketergantungan akan bergerak naik. Saat itu Indonesia mengarah ke populasi yang menua. Terkait hal tersebut, menurut Anton, jangan sampai Indonesia menjadi tua sebelum kaya. Kondisi tua sebelum kaya berarti masuk pada jebakan pendapatan menengah (middle income trap).
Kementerian Ketenagakerjaan memetakan, pada 2020, Indonesia akan memasuki fase bonus demografi. Saat itu jumlah penduduk usia produktif, yakni antara 15-64 tahun, lebih besar dibandingkan dengan penduduk di usia nonproduktif.
Indonesia dinilai mutlak mengoptimalkan kesempatan atau fase bonus demografi yang diperkirakan memuncak pada 2030 hingga 2035 tersebut. Digitalisasi ekonomi yang berdampak pada pergeseran struktur ketenagakerjaan pun harus dicermati.
Merujuk pada studi McKinsey (2016), sebanyak 52,6 juta lapangan kerja dalam 5 tahun mendatang kemungkinan akan bisa tergantikan otomatisasi. Di sisi lain, teknologi digital juga akan menciptakan 3,7 juta pekerjaan baru yang mayoritas berada pada sektor usaha jasa dalam 7 tahun mendatang.
Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Ketenagakerjaan, menyatakan, melakukan sejumlah langkah strategis untuk memperkuat akses pelatihan kerja. Langkah ini untuk menyiapkan tenaga kerja terampil dalam menghadapi tantangan ekonomi digital.
Langkah yang dimaksud berupa modernisasi balai latihan kerja (BLK) dengan program revitalisasi, mencitrakan kembali, dan reorientasi. Selain itu, ada juga pengembangan program magang yang mengacu pada kebutuhan pasar kerja berbasis teknologi digital yang didukung kurikulum sesuai standar kompetensi kerja nasional Indonesia.
Langkah lain berupa penataan sistem pasar kerja melalui kolaborasi antara pemerintah dan dunia usaha. Seperti disampaikan Business Development Director PT Pusat Studi Apindo (Apindo Training Center/ATC) M Aditya Warman, transformasi pasar tenaga kerja di era industri 4.0 -atau industri yang diwarnai teknologi informasi- tidak terhindarkan. Beberapa profesi pekerjaan diduga akan hilang dengan sangat cepat dan masif.
Perusahaan diharapkan membuat peta jalan dan beradaptasi dengan perubahan tersebut. Infrastruktur harus mulai disiapkan untuk meningkatkan kemampuan digital.
Perusahaan juga diharapkan mampu mengedukasi sumber daya manusia atau tenaga kerja agar mempunyai posisi tawar dan daya saing dalam kompetisi global.
Apindo berpandangan, peningkatan kualitas dan daya saing sumber daya manusia diperlukan agar Indonesia mampu memetik manfaat dari bonus demografi. Tanpa sumber daya manusia yang berkualitas dan berdaya saing kuat, bonus demografi dikhawatirkan justru menjadi liabilitas atau beban. (C Anto Saptowalyono)