JAKARTA, KOMPAS -- Lesunya pasar ekspor kerapu menyebabkansejumlah usaha budidaya kerapu mangkrak. Untuk itu, pemerintah mendorong pembudidaya kerapu beralih budidaya ke komoditas unggulan lain, seperti kakap dan bawal bintang.
Direktur Jenderal Perikanan Budidaya Kementerian Kelautan dan Perikanan Slamet Soebjakto, akhir pekan lalu, mengemukakan, ekspor kerapu melemah karena negara pengimpor kerapu, yakni Hongkong dan China, mengurangi konsumsi kerapu yang harganya dinilai tinggi. Konsumsi kerapu yang tergolong produk premium mulai tergantikan produk ikan laut yang lebih murah.
Harga kakap putih saat ini berkisar Rp 85.000 per kilogram (kg), dan bawal bintang Rp 60.000-Rp 80.000 per kg. Sementara, harga kerapu berkisar Rp 130.000-Rp 150.000 per kg. "Komoditas utama ekspor ikan laut mulai bergeser dari kerapu ke kakap putih. Produk kakap putih juga banyak diminati pasar lokal dengan harga jual yang bagus," kata dia.
Menurut Slamet, harga kerapu sulit bersaing karena pemeliharaan lebih lama dan biaya tinggi. Selain itu, ada risiko ikan mati saat pengiriman ekspor. “Pasar kerapu terbatas, hanya Hongkong dan China. Kita juga harus menggarap kakap dan bawal bintang untuk diversifikasi produk perikanan," kata dia.
Slamet menambahkan, permintaan ikan dalam negeri yang terus tumbuh merupakan peluang pasar bagi komoditas ikan air tawar dan air laut. Ke depan yang didodong untuk budidaya adalah kakap putih yang berpeluang bagus. Disamping, bawal bintang dan kerapu, budidaya ikan cobia juga akan digarap.
Mangkrak
Ketua Umum Himpunan Pembudidaya Ikan Laut se-Indonesia (Hipilindo) Effendy, mengungkapkan, keramba jaring apung kerapu yang masih bertahan saat ini hanya sekitar 10 persen dari total keramba. “Tidak semudah itu pembudidaya kerapu beralih ke komoditas lain. Pasokan benih dari balai-balai perikanan sangat minim,” katanya.
Ia menambahkan mangkraknya pembudidaya kerapu disebabkan kendala pengangkutan ikan hidup. Sejak larangan alih muatan kapal pengangkut kerapu, tidak ada sentra pengumpul ikan yang sanggup mengumpulkan ikan dari lokasi budidaya. Akibatnya, kapal pengangkut ikan asal Hongkong yang berkapasitas 38 ton tidak bisa mengangkut ikan sesuai kapasitas.
Biaya angkut yang tidak efisien membuat harga ekspor kerapu anjlok. Saat ini, harga kerapu ekspor lebih murah 2-3 dollar AS dibandingkan kerapu asal Singapura dan Malaysia. Harga ekspor kerapu asal Indonesia saat ini berkisar 10 dollar AS, sedangkan Singapura mencapai 13 dollar AS.
“Kerapu ekspor Indonesia kalah bersaing, sehingga akhirnya tutup dan mangkrak,” katanya.
Sementara itu, upaya pembudidaya untuk ebralih ke pasar lokal tidak mudah, karena daya serap pasar lokal minim. Ini karena komoditas kerapu tergolong sebagai ikan dengan nilai jual tinggi.