Setidaknya sepekan lalu, nilai tukar rupiah menguat terhadap dollar Amerika Serikat (AS). Rupiah berada di bawah Rp 15.000 per dollar AS, bahkan sempat menyentuh level Rp 14.500-an per dollar AS.
Ada banyak faktor, baik domestik maupun global, yang menyebabkan rupiah menguat. Faktor-faktor itu antara lain, dana asing mulai masuk ke portofolio Indonesia, rencana meredakan perang dagang AS-China, dan kondisi perekonomian Indonesia yang terjaga baik. Ekonomi Indonesia yang terus tumbuh di tengah ketidakpastian ekonomi global dan inflasi yang terjaga, memberi keyakinan dan kepercayaan pada investor luar dan dalam negeri.
Kendati begitu, dari pengalaman selama ini, penguatan rupiah seringkali tidak berlangsung lama atau sementara. Rupiah masih rentan terhadap gejolak global, terutama dari AS. Untuk itu, upaya terpenting yang perlu dilakukan secara berkelanjutan adalah mengurangi kerentanan mata uang rupiah.
Titik rentan Indonesia saat ini ada pada transaksi berjalan yang terus defisit sejak triwulan III-2011. Upaya yang dapat dilakukan pemangku kepentingan terkait antara lain mengurangi ketergantungan impor, terutama minyak dan gas bumi (migas) yang selama ini menjadi "momok" defisit; meningkatkan ekspor; dan mengembangkan industri dalam negeri yang bernilai tambah dan berorientasi ekspor.
Bank Indonesia mencatat, defisit transaksi berjalan pada triwulan III-2018 sebesar 8,8 miliar dollar AS atau 3,37 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Defisit itu lebih tinggi dibandingkan defisit triwulan sebelumnya yang sebesar 8 miliar dollar AS atau 3,02 persen PDB. Secara akumulatif, defisit neraca transaksi berjalan hingga triwulan III-2018 sebesar 2,86 persen dari PDB.
Salah satu strategi besar pemerintahan Presiden Joko Widodo untuk mengurangi ketergantungan impor migas adalah membangun kilang pengolahan minyak baru, serta memperbaiki dan meningkatkan kualitas dan kapasitas kilang minyak yang ada. Namun, sudah empat tahun berjalan, upaya meningkatkan kualitas dan kapasitas kilang, termasuk upaya membangun kilang baru oleh PT Pertamina (Persero), belum menunjukkan hasil signifikan.
Defisit migas
Impor migas justru semakin meningkat. Data Badan Pusat Statistik menunjukkan, impor migas pada Januari-September 2018 sebesar 22,04 miliar. Nilai impor migas itu naik 27,14 persen dibandingkan periode yang sama 2017 yang sebesar 17,34 miliar dollar AS.
Nilai impor migas pada Januari-September 2018 yang sebesar 22,04 miliar dollar AS itu setara atau identik dengan nilai ekspor minyak kelapa sawit (CPO) dan turunannya selama setahun. Data Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia menunjukkan, volume ekspor CPO dan turunannya pada 2017 sebesar 31,05 juta ton dengan nilai 22,96 miliar dollar AS. Oleh karena itu, mengurangi ketergantungan impor migas sangat penting.
Selain itu, upaya meningkatkan ekspor harus terus-menerus dilakukan. Menumbuhkan ekspor tidak hanya dilakukan dengan meningkatkan daya saing produk dan industri dalam negeri, melainkan juga memperluas potensi pasar. Kesepakatan kerja sama perdagangan bebas (FTA) secara bilateral dengan negara-negara potensial, seperti India, mendesak dilakukan. Beberapa negara, seperti Malaysia dan Vietnam, sudah gencar melakukan perjanjian kerjasama perdagangan bilateral.
Jika kerja sama perdagangan bebas dengan India dilakukan dan pungutan ekspor sawit sebesar 50 dollar AS per ton dikurangi, hal itu diyakini dapat meningkatkan ekspor CPO, terutama ke India. Perolehan devisa dapat semakin besar.
Upaya lainnya adalah meningkatkan ekspor produk dalam negeri lain yang bernilai tambah tinggi dan mengurangi ketergantungan impor, terutama bahan baku, melalui subtitusi impor. Pergantian bahan baku impor dengan bahan baku dalam negeri itu tentu harus terus-menerus dilakukan secara sistematis, termasuk kebijakan mandatori B-20.