JAKARTA, KOMPAS-- Transaksi modal dan finansial triwulan III-2018 surplus. Hal ini menunjukkan kepercayaan investor terhadap ekonomi domestik yang meningkat.
Akan tetapi, surplus transaksi modal dan finansial tersebut belum cukup untuk menutup defisit transaksi berjalan. Akibatnya, neraca pembayaran, yang dihitung dari transaksi berjalan serta transaksi modal dan finansial, pada triwulan III-2018 defisit 4,386 miliar dollar AS.
Berdasarkan data Bank Indonesia, transaksi modal dan finansial pada triwulan III-2018 surplus 4,2 miliar dollar AS, yang didukung peningkatan aliran masuk investasi langsung di pasar surat berharga negara (SBN).
Project Consultant Asian Development Bank (ADB) Institute Eric Alexander Sugandi menuturkan, aliran modal asing yang masuk ke pasar obligasi dalam negeri bergantung pada tingkat imbal hasil serta sentimen positif dari global dan domestik.
“Namun, selama aliran dana yang masuk pada instrumen portofolio, baik SBN maupun saham masih terjadi, cadangan devisa masih dapat terus meningkat,” ujar Eric saat dihubungi, Sabtu (10/11/2018).
Sepanjang pekan lalu, obligasi pemerintah laris di pasar portofolio. Hal ini ditandai dengan penurunan imbal hasil obligasi. Penurunan imbal hasil itu akibat harga obligasi yang naik, seiring dengan permintaan yang meningkat.
Adapun posisi cadangan devisa per akhir Oktober 2018 sebesar 115,163 miliar dollar AS. Jumlah yang setara dengan pembiayaan 6,2 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah ini di atas standar kecukupan internasional yang sebesar 3 bulan impor.
Eric memprediksi, peningkatan aliran modal masuk melalui obligasi maupun penanaman modal asing akan mengurangi defisit neraca pembayaran. Dengan perkembangan tersebut, pada akhir tahun, cadangan devisa diperkirakan berkisar 117 miliar dollar AS.
“Kinerja neraca pembayaran diperkirakan membaik dan dapat terus menopang ketahanan sektor eksternal,” ujarnya.
Sentimen
Analis Binaartha Parama Sekuritas, Muhammad Nafan Aji, menilai, pasar obligasi Amerika Serikat saat ini masih lebih menarik di mata investor global. Apalagi, koreksi imbal hasil kurang memungkinkan karena pengaruh sentimen kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS, The Fed.
Namun, lanjutnya, kondisi politik di AS yang tidak menentu tetap menjadi musuh utama bagi investor. “Aliran modal pun berpotensi terbang sementara dari AS ke negara-negara dengan imbal hasil lebih menarik. Pemerintah harus menangkap peluang ini,” ujarnya.
Berdasarkan data per 9 November 2018, imbal hasil obligasi pemerintah tenor dengan 5 tahun sebesar 7,5 persen dan tenor 10 tahun sebesar 8 persen.
Sementara itu, reli penguatan indeks harga saham gabungan (IHSG) terpatahkan di penutupan perdagangan akhir pekan lalu, IHSG pada Jumat (9/11) ditutup merosot 1,72 persen atau 102,65 poin ke level 5.874,15.
Aksi beli bersih oleh investor asing yang sebelumnya terjadi selama 11 hari berturut-turut, terpatahkan dengan aksi jual bersih Rp 42,93 miliar, Jumat.
Analis FAC Sekuritas Wisnu Prambudi Wibowo berpendapat, selain aksi ambil untung investor, penurunan IHSG disebabkan sentimen defisit transaksi berjalan yang melebar hingga 3,37 persen produk domestik bruto (PDB) atau 8,8 miliar dollar AS pada triwulan III-2018. Hal ini menunjukkan kebutuhan dollar AS semakin meningkat. (DIM)