DEPOK, KOMPAS--Pertumbuhan ekonomi yang stagnan mencerminkan produktivitas yang rendah di sejumlah lini industri, termasuk di sektor manufaktur. Jika produktivitas tidak segera ditingkatkan, maka defisit akan terus menghantui neraca pembayaran Indonesia.
Berdasarkan kajian Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), produktivitas yang rendah menjadi faktor penghambat pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini berdampak pada stagnasi pertumbuhan ekonomi Indonesia dalam 4 tahun terakhir.
Pada 2014, pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat menjadi 5,02 persen, dari tahun sebelumnya yang sebesar 5,58 persen. Pelambatan pertumbuhan ekonomi semakin parah pada 2015, yakni 4,88 persen. Meski kembali meningkat, namun pertumbuhan ekonomi masih tetap stagnan pada 2016, yakni 5,02 persen dan 2017 sebesar 5,07 persen.
Staf Ahli Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bidang Pembangunan Sektor Unggulan dan Infrastruktur, Bambang Prijambodo, mengatakan, pertumbuhan ekonomi nasional terhambat produktivitas yang rendah, terutama di sektor manufaktur. “Pangsa industri manufaktur Indonesia terus merosot.
Kinerja manufaktur yang buruk berdampak pada kinerja perdagangan internasional. Dalam 40 tahun, ekspor Indonesia masih didominasi komoditas,” ujarnya di Depok, Jawa Barat, Senin (12/11/2018).
Bambang mengatakan, industrialisasi Indonesia yang prematur belum dapat diharapkan untuk membantu memperbaiki transaksi berjalan yang defisit. Reformasi struktural yang berkelanjutan diperlukan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi mencapai 7 persen sesuai target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) .
“Perlu investasi besar pada sumber daya manusia. Pada 1970, Malaysia dan Thailand juga bergantung pada komoditas dalam ekspor mereka. Sekarang pangsa terbesar ekspor mereka adalah elektronik,” kata Bambang.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Danang Girindrawardana menyampaikan, untuk meningkatkan produktivitas, industri manufaktur memerlukan impor bahan baku dan barang modal.
“Upaya pemerintah memperbaiki mata rantai suplai impor barang modal perlu diapresiasi untuk memastikan impor diprioritaskan untuk meningkatkan produktivitas industri,” ujarnya.
Namun, pada saat nilai tukar rupiah melemah terhadap dollar AS, ongkos impor bahan baku turut meningkat sehingga memengaruhi biaya produksi.
Staf Ahli Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Bidang Energi Sumber Daya Alam Dadan Kusdiana mengatakan, pada 2017, Indonesia defisit minyak 12,8 miliar dollar AS. (DIM)