JAKARTA, KOMPAS — Perusahaan riset pasar berkantor pusat di London, TrendWatching, menyebut ada lima tren yang siap mempengaruhi perilaku konsumen tahun 2019. Teknologi digital menjadi penggerak utama kemunculan tren tersebut.
Asia Head of Trends and Insights di TrendWatching Acacia Leroy di sela-sela seminar Global Trend Events: Prep and Prosper 2019, Selasa (13/11/2018), di Jakarta, mengatakan, sebelum lahir media sosial, warga sering mengukur derajat status seseorang dari mahalnya barang yang dibeli. Namun, belakangan, ukuran itu tidak terlalu relevan. Kehormatan status seseorang terlihat dari seberapa aktif di media sosial, mulai dari jumlah follower hingga aktivitas kekinian yang dilakukan.
Orang tak lagi segan menceritakan keseharian hidupnya di media sosial. Instagram, misalnya, mengakui bahwa pengguna fitur Insta Story terbesar di dunia berasal dari Jakarta. Salah satu riset menyebut pemakaian utama ponsel pintar warga Indonesia adalah memotret, lalu mengabadikannya di media sosial.
Berangkat dari situasi tersebut, pemilik merek barang dan jasa menciptakan strategi pemasaran baru dengan pendekatan konten bercerita. Ini menjadi tren pertama.
”Kami menyebutnya sandcastel stories trend. Pemilik merek mendistribusikan konten pemasaran yang kaya cerita melalui media sosial. Atau, mereka menyiapkan satu gerai promosi fisik dengan tampilan instagramable sehingga menarik konsumen datang, berfoto, dan mengunggah ke media sosial,” tutur Acacia.
Tren kedua adalah magic touchpoints. Tren ini dibentuk oleh adopsi ponsel pintar. Dia mengemukakan, ponsel pintar telah menjadi perangkat pokok penunjang keberhasilan aktivitas sehari-hari.
Pada 2019, TrendWatching memperkirakan semakin banyak pemilik merek terjun mengembangkan aplikasi mobile. Isi konten beragam, antara lain informasi produk, berita, dan layanan transaksi elektronik.
Contoh merek yang dinilai berhasil dengan strategi itu adalah IKEA. Label mebel asal Swedia ini memiliki aplikasi mobile yang memungkinkan konsumen di berbagai negara belanja daring. Contoh lain adalah Inkhunter, label tato yang mengajak konsumen mendesain sendiri gambar tato di aplikasi.
Tren ketiga menyangkut bagaimana warga memanfaatkan aneka jenis konten dan perangkat lunak di ponsel pintar mereka untuk ”melarikan diri” dari stres. Kondisi ini jamak ditemui di perkotaan besar.
”Riset menemukan mereka susah membedakan kenyataan dan imajinasi dari setiap konten digital. Hal ini justru dimanfaatkan oleh industri. Pengelola Museum Louvre, Paris, misalnya, menciptakan kegiatan tur yang terinspirasi dari perbincangan populer tentang video klip Beyonce dan Jay Z dan antusias masyarakat membeludak,” tuturnya.
Tren keempat adalah ritel baru. Acacia mengungkapkan, di tingkat asia, penjualan ritel daring baru menyumbang 20 persen terhadap total ritel. Riset TrendWatching menemukan, para peritel daring justru tidak fokus meningkatkan kontribusi pendapatan itu. Malah, mereka bersama pemain konvensional memperbarui strategi penjualan di gerai ritel fisik.
”Bagaimana membuat gerai ritel fisik tetap diminati dan relevan dengan konsumen di era digital? Caranya adalah memanfaatkan teknologi digital, misalnya sistem pembayaran nontunai dan menggunakan pemasaran berbasis analisis data berukuran raksasa,” katanya.
Sebagai contoh, Honestbee membuka gerai ritel fisik berupa produk bahan makanan dan minuman yang terintegrasi dengan layanan hiburan. Namanya adalah Habitat by Honestbee. Honestbee dikenal sebagai penyedia aplikasi pengiriman bahan makanan. Pada 2019, warga Asia akan semakin menyukai model berbelanja menyerupai hal itu.
Adapun tren kelima adalah lab rats. Inovasi digital terus bermunculan dan akhirnya melahirkan budaya.
”Warga semakin ingin berimprovisasi, terutama menyangkut gaya hidupnya sendiri. Nama kelompok penggemar yoga, misalnya, semakin ’pop’. Kami pernah menemukan kelompok Cosplay Yoga dan kami rasa contoh serupa akan banyak bermunculan tahun depan,” ungkapnya.
Kelima tren tersebut bagian dari paparan riset TrendWatching bertajuk Roadmap: 10 Trends to Guide Your Innovation Journey.