Awal November ini, Indonesia dan Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa atau EFTA secara substantif menyelesaikan perundingan Persetujuan Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA). Penyelesaian perundingan yang dimulai sejak 2010 ini menjadi langkah maju bagi Indonesia. Selain kemitraan ekonomi Indonesia-EFTA, dalam setahun terakhir Indonesia juga menuntaskan perundingan sejenis dengan Chile dan Australia.
Menilik kerja sama ekonomi dengan EFTA, dapat kita peroleh gambaran tentang pentingnya Indonesia menggarap pasar ekspor nontradisional. Selama ini, Indonesia tertinggal menggarap potensi pasar EFTA dibandingkan dengan negara-negara tetangga di Asia Tenggara. Oleh karena itu, kesepakatan kemitraan ekonomi Indonesia-EFTA diharapkan menjadi jalan untuk mengatasi ketertinggalan itu.
EFTA beranggotakan empat negara yang tidak tergabung dalam Uni Eropa, yakni Swiss, Norwegia, Eslandia, dan Liechtenstein. Kawasan EFTA diperhitungkan karena tingkat kemajuan ekonomi, kemampuan investasi, dan pendapatan per kapita tertinggi di dunia. Kawasan ini menyerap produk perdagangan lebih besar dari kebutuhan pasar domestik karena merupakan basis produksi yang berorientasi ekspor.
Kawasan EFTA ada di urutan ke-23 tujuan ekspor Indonesia. Perdagangan paling banyak dilakukan Indonesia dengan Swiss, berikutnya Norwegia dan Eslandia. Kementerian Perdagangan RI mencatat, volume perdagangan Indonesia dengan Swiss pada 2017 sebesar 2,054 miliar dollar AS, dengan Norwegia 351,7 juta dollar AS, dan dengan Eslandia 2,3 juta dollar AS.
Di Asia Tenggara, dua negara yang sudah lebih dulu memiliki perjanjian perdagangan bebas atau kemitraan dengan EFTA adalah Singapura dan Filipina. Namun, Malaysia, Thailand, dan Vietnam juga sudah mencatatkan nilai perdagangan dengan EFTA yang jauh lebih besar daripada Indonesia.
Data ITC Trademap 2017 menunjukkan, nilai perdagangan Swiss dengan Singapura, Thailand, dan Malaysia berturut-turut 9,8 miliar dollar AS; 7,9 miliar dollar AS; dan 4,07 miliar dollar AS. Pada saat yang sama, total nilai perdagangan Swiss dengan Indonesia 1,94 miliar dollar AS.
Pada perdagangan Indonesia dan Swiss (2017), Indonesia mencatat surplus 435,1 juta dollar AS. Jika ditilik lebih jauh, ekspor Indonesia ke Swiss terutama ditopang komoditas emas. Padahal, Swiss merupakan basis industri yang berpeluang besar menyerap beragam potensi Indonesia lainnya.
Belum tersentuh
Dalam kinerja ekspor Indonesia, selama ini produk minyak kelapa sawit (CPO) menjadi andalan. Namun, tidak demikian halnya dengan ekspor produk CPO Indonesia ke kawasan EFTA, termasuk Swiss. Pada 2017, total perdagangan Swiss untuk produk kelapa sawit sekitar 35 juta Swiss Franc (CHF). Pemasok produk CPO terbesar bagi Swiss adalah Malaysia (9,3 juta CHF), lalu Papua Niugini dan Kamboja (masing-masing 4 juta CHF), serta Pantai Gading (828.000 CHF). Adapun pembelian produk CPO oleh Swiss dari Indonesia 427.000 CHF.
Kesepakatan kemitraan ekonomi komprehensif Indonesia-EFTA tentu memberi harapan besar untuk mengatasi ketertinggalan Indonesia menggarap potensi pasar nontradisional tersebut. Tidak sekadar mendongkrak ekspor, tetapi peluang peningkatan investasi pun ada di situ.
Akan tetapi, peluang pasar bukan saja memikat Indonesia. Dalam konteks persaingan global, peluang harus selalu direbut dan digarap dengan kerja sistematis dan strategis. (NUR HIDAYATI)