Perjalanan Secangkir Kopi Borobudur
Kopi yang lama terpuruk di perbukitan Menoreh, coba dibenahi pengolahan dan promosinya seiring pembukaan akses jalan di wilayah tersebut. Kini, potensi kopi mulai bersinar.
Sejak lama, perbukitan Menoreh di Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, menyimpan potensi kopi. Tersembunyi di Desa Majaksingi, 5 kilometer sebelah selatan Candi Borobudur, produk itu kini dikemas untuk menggerakkan ekonomi dan wisata.
Tak mudah mendapati perkebunan kopi di perbukitan Menoreh. Ibarat mencari harta karun terpendam, upaya mendapatkan kopi ini harus melalui perjuangan berat, naik-turun bukit, menyusuri jalan sempit, dan berjibaku dengan tikungan curam nan tajam.
Namun, semua itu terasa setimpal begitu sampai di Warung Kopi Pak Is di Dusun Kerugbatur, Desa Majaksingi, Kecamatan Borobudur. Secangkir kopi yang dihidangkan mujarab melepas semua ketegangan sepanjang perjalanan.
”Ini diproduksi dari tanaman kopi yang ditanam para petani di Dusun Kerugbatur,” ujar Ismoyo, Sabtu (20/10/2018).
Warung kopi itu dikelola Ismoyo atau akrab dipanggil Pak Is yang juga Kepala Dusun Kerugbatur. Berlabel ”Borobudur Coffe”, kopi yang disajikan memiliki cita rasa moka kental dengan tambahan rasa dan aroma beragam bumbu dapur, seperti jahe, kunyit, dan temulawak.
Ismoyo mengatakan, di dusun tersebut dan beberapa wilayah lain di perbukitan Menoreh, kopi sebenarnya ditanam sejak lama. Khusus di Desa Majaksingi, tanaman kopi ada di enam dusun, termasuk Kerugbatur. Pohon kopi di desa tersebut sekitar 12.000 pohon dengan areal 12 hektar.
Para petani Dusun Kerugbatur, yang tergabung dalam Kelompok Tani Kerug Mulyo, menanam dua jenis kopi, robusta dan arabika. Meski daerah tertinggi di dusun itu hanya 800 meter di atas permukaan laut (mdpl), petani Kerugbatur tetap menanam kopi arabika yang lebih cocok ditanam pada ketinggian di atas 1.500 mdpl.
Ismoyo mengatakan, Borobudur Coffee baru diproduksi 2016. Usaha itu digagas Ismoyo karena ingin mengembangkan potensi wisata di dusunnya. Niat itu muncul setelah dirinya mendengar rencana pembangunan bandar udara baru di Kabupaten Kulon Progo, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yang diyakini meningkatkan kunjungan wisata ke Borobudur.
”Saya berpikir, kopi di dusun ini harus bisa dikembangkan menjadi ikon wisata untuk menyambut tamu-tamu yang berdatangan,” ujar Ismoyo.
Dia lalu mengajak istrinya dan seorang petani lain belajar pengolahan kopi ke Kulon Progo. Niat Ismoyo didukung PT Taman Wisata Candi Borobudur, Prambanan, dan Ratu Boko (TWCBPRB) yang memang berencana mengembangkan kopi di Dusun Kerugbatur.
Pelatihan
PT TWCBPRB kemudian menggelar pelatihan pengolahan kopi bagi para petani di Dusun Kerugbatur melibatkan Dinas Pertanian dan Tanaman Pangan Kabupaten Magelang. Dengan bantuan sejumlah pihak, termasuk beberapa barista profesional, Ismoyo dan beberapa petani di Kerugbatur belajar ihwal pengolahan kopi.
Sebelum ada usaha pengolahan kopi yang digagas Ismoyo, kebanyakan petani di dusun itu tidak mau repot merawat dan memelihara tanaman kopi. ”Petani cenderung tidak peduli. Tanaman kopi hanya ditengok saat panen,” kata Ismoyo.
Akibat ketidakpedulian tersebut, banyak tanaman kopi tak pernah dipangkas dan dibiarkan tumbuh tinggi hingga 3 meter atau lebih. Saat memanen, petani pun cenderung asal karena mereka memetik buah kopi yang telah matang dan masih mentah sekaligus. Kopi yang sudah matang dan masih mentah dicampur dan diolah menjadi kopi OC atau beras kopi.
Beras kopi itu kemudian langsung dijual ke pasar tanpa disangrai dan dijadikan kopi bubuk. Dengan cara pengolahan seperti itu, harga jual beras kopi para petani terbilang rendah. Bahkan, pada 1990-an, harga beras kopi sempat anjlok sehingga sejumlah petani memilih memangkas habis ratusan pohon kopi mereka.
Seorang petani kopi di Kerugbatur, Pranoto (73), mengatakan, pada 1990-an, ia memangkas habis 400 pohon kopi miliknya, lalu beralih menanam cengkeh. Hal itu karena harga beras kopi kurang dari Rp 10.000 per kilogram (kg).
”Harga beras kopi sungguh tidak seimbang dengan jerih payah kami,” ujar Pranoto. Perlahan, usaha kopi yang dirintis Ismoyo membawa perubahan. Sejumlah petani kopi mulai menyadari bahwa mereka memiliki harta berharga.
Petani kopi lain di Dusun Kerugbatur, Ramelan (58), menuturkan, dulu memangkas habis ratusan pohon kopi miliknya, lalu menanam cengkeh dan palawija. Setelah menyadari bahwa kopi merupakan komoditas berharga, Ramelan pun kembali menanam kopi.
Saat ini Ramelan aktif mempromosikan Borobudur Coffe. ”Ke mana pun pergi, saya selalu membawa, mempromosikan, dan menjual kopi. Biasanya kopi itu habis terjual,” tuturnya.
Cepat dikenal
Kini, Ismoyo dan rekan-rekannya rutin mengolah biji kopi menjadi kopi bubuk. Setiap bulan, mereka mengolah 30-40 kg kopi. Kopi bubuk olahan mereka dikemas dengan ukuran 100 gram dan dijual Rp 20.000 per kemasan untuk robusta dan Rp 25.000 per kemasan untuk arabika.
Meski baru diproduksi sejak 2016, nama dan rasa Borobudur Coffee cepat dikenal banyak orang, termasuk turis asing. Sejumlah wisatawan luar negeri, misalnya dari Jepang, Perancis, dan Swiss, rela melalui tantangan perjalanan ekstrem demi menyesap kopi tersebut langsung di Dusun Kerugbatur.
Bahkan, suatu saat, seorang turis asal Swiss memesan 8 kg kopi yang diolah Ismoyo dan teman-temannya. Mendapat pesanan mendadak itu, mereka kelabakan karena tidak punya stok kopi cukup. ”Kami terpaksa membeli bahan baku kopi dari Kulon Progo,” tuturnya.
Pengalaman itu membuat Ismoyo dan teman-temannya berbenah. Mereka berupaya meningkatkan produksi sambil menjaga kualitas kopi. Salah satu upaya adalah mengajak lebih banyak petani agar mau menjual kopi untuk diolah menjadi produk Borobudur Coffee.
Saat ini jumlah petani yang rutin menjual kopi ke Ismoyo baru sekitar 10 orang. Padahal, jumlah petani kopi di enam dusun di Desa Majaksingi lebih dari 300 orang. ”Banyak petani masih enggan merawat kopi dengan benar dan malas melakukan kegiatan pascapanen. Kami akan terus mengajak mereka berubah,” kata Ismoyo.
Kesempatan mencicipi kentalnya kopi hasil dari tanah Borobudur tak boleh dilewatkan para pelari Borobudur Marathon. Meski jalur menuju Dusun Kerugbatur cukup menantang, hal tak seberapa dibanding kenikmatan menyesap harum kopi panas ditemani pisang goreng selepas lelah berlari.