Berdaya dengan Olahan Ketela
Singkong yang dulu dianggap sebelah mata dan sering jadi pakan ternak, kini naik kelas. Bahan pangan itu diolah menjadi makanan yang disukai pelbagai lapisan masyarakat bahkan turis asing.
Upaya memanfaatkan bahan pangan lokal sejalan dengan peningkatan pariwisata dan kesadaran hidup sehat para wisatawan. Dampaknya, kehidupan petani pun meningkat.
Ketela jamak dilabeli sebagai makanan kampung, murah, dan ndeso. Namun, di Borobudur, pangan lokal itu dilestarikan. Kreativitas membuat ketela naik kelas sekaligus membuat warga berdaya.
Menjelang sore, aroma sedap menguar dari dapur Rumah Ketela di Dusun Ngaran, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah, Rabu (14/11/2018).
Proses produksi membuat brownies singkong baru saja selesai. Belasan brownies tampak tertata dalam wadah, tetapi masih dibiarkan terbuka. Dua karyawan sabar menunggu. Aktivitas di dapur baru akan tuntas setelah kue-kue itu dingin dan ditutup lalu dikemas dalam kardus.
Rumah Ketela terletak sekitar 1,5 kilometer di selatan Candi Borobudur. Lokasi ini akan dilintasi para pelari Borobudur Marathon, Minggu (18/11/2018). Para pelari dapat menjadikan aneka olahan singkong sebagai oleh-oleh khas Magelang.
Di Rumah Ketela, aneka bahan pangan lokal diberi nilai tambah. Tidak hanya diolah menjadi kudapan seperti getuk, tiwul, gaplek, atau jadi pakan sapi. Untuk singkong bisa diwujudkan lewat puluhan resep makanan.
Olahannya bahkan menanggalkan identitas desa, menjelma jadi penganan yang biasa muncul di etalase toko kue, seperti brownies, aneka kue kering, egg roll, dan pie susu.
Maidar Sutomo (59), pemilik sekaligus motor penggerak inovasi dan kreativitas di Rumah Ketela, mengatakan, semula dia hanya mengolah singkong. Namun, seiring waktu, kreativitas Maidar, yang lebih akrab disapa Ida, makin tak terbatas.
Dia mencoba mengolah aneka macam umbi-umbian, seperti ubi ungu, ubi jalar, dan ganyong atau kerut. Belakangan dia mengolah suweg (Amorphophallus paeoniifolius) yang masih berkerabat dekat dengan tanaman bunga bangkai.
Resep-resep yang dipakai untuk mengolah aneka bahan lokal itu menggunakan resep untuk mengolah singkong. Ida melakukan riset dan uji coba resep.
Gemas
Ida mengembangkan Rumah Ketela bersama suaminya, Ariswara Sutomo (73), pemilik hotel Rajasa, penginapan yang bersebelahan dengan gerbang masuk kompleks Taman Wisata Candi Borobudur. Kreativitas Ida bermula dari keinginannya menjamu tamu-tamu di Hotel Rajasa yang mayoritas turis asing.
Sekitar tahun 2000, Ida beranggapan bahwa turis asing harus dijamu dengan roti. Karena jumlah toko roti di sekitar Borobudur masih terbatas, dia hanya bisa mengandalkan pasokan dari Yogyakarta yang datang seminggu sekali. Dia pun mencari resep dan bahan lokal yang bisa diolah menjadi pengganti roti.
Saat itu, pilihan jatuh pada singkong yang mudah didapat di sekitar Borobudur.
Dia pun berkreasi dengan mengukus, menggoreng, sesekali menambah gula merah. Pada menu lain terkadang dibumbui cita rasa asin. Hasil uji coba aneka olahan singkong tersebut pertama kali dihidangkan kepada rombongan tamu dari Eropa. Tak disangka, responsnya sangat positif.
”Makanan yang saya hidangkan langsung ludes. Banyak tamu bilang itu adalah makanan enak,” dia mengenang.
Dari perbincangan dengan banyak tamu, Ida berkesimpulan banyak warga asing sangat pemilih dan cenderung ingin mengonsumsi makanan sehat. Untuk roti, mereka hanya mau tepung bebas gluten.
Tahun 2010, Ida berhasil membuat beragam kue dan jajanan berbahan singkong. Pada tahun yang sama, terjadi erupsi Gunung Merapi. Ketika itu, abu erupsi merusak tanaman kecuali umbi-umbian dalam tanah.
Ida prihatin karena pengungsi mengonsumsi mi instan. ”Padahal, di sekitar mereka melimpah umbi-umbian,” ujarnya.
Singkong dan umbi lain sering tersia-sia tanpa diberi nilai tambah. Sebagai contoh Sumini (35), warga Desa Candirejo, Kecamatan Borobudur. Dia punya kebun singkong.
Dulu, dia mengolah singkong menjadi makanan tradisional lanting. Namun, hanya bertahan enam bulan karena proses produksinya sulit, tidak sebanding dengan harga jual. Akhirnya singkong dijual mentah atau dijadikan pakan ternak.
Kondisi tersebut mendorong Ida semakin berkreasi mengolah ubi. Dari hasil perbincangan dengan tamu-tamu hotel yang cenderung memilih menu dan bahan-bahan pangan sehat, dia melakukan uji coba membuat modified cassava flour (tepung mocaf).
Bahan ini yang kemudian dipakai sebagai bahan baku membuat beragam kue dan roti. Sejak itu, dia mengurangi penggunaan terigu.
Pemberdayaan
Tahun 2012, saat diundang mengikuti lomba kreasi masakan berbahan singkong, dia menjadi juara pertama. Dari situ, Ida diajak dinas perdagangan dan perindustrian, serta dinas pertanian setempat untuk ikut menyosialisasikan penggunaan dan pengolahan bahan pangan lokal sebagai konsumsi sehari-hari.
Dia juga rajin membagi ilmu cara mengolah bahan pangan lokal. Tak hanya di Magelang, tetapi juga luar kota. Kini, Rumah Ketela banyak didatangi berbagai kelompok yang tertarik mengolah hasil bumi. Di tempat itu sering digelar pelatihan gratis pengolahan makanan berbahan lokal pada warga sekitar.
Kini , enam warga ikut bekerja di Rumah Ketela. Produksi tempat itu rata-rata menyerap 1 kuintal singkong per hari dan tepung mocaf 10-30 kilogram per hari. Umumnya singkong dipasok dari kebun warga di sekitar Kecamatan Borobudur.
Kepala Dinas Pertanian dan Pangan Kabupaten Magelang Wijayanti mengatakan, pihaknya berupaya menggelorakan semangat pengolahan pangan lokal. Salah satunya dengan menggelar Lomba Cipta Menu Beragam Begizi Seimbang dan Aman (B2SA) serta Festival Kuliner Lomba Olahan Pangan Lokal.
Meski merupakan salah satu sentra padi, menurut Wijayanti, Magelang dilimpahi bahan baku pangan lokal seperti singkong. Karena itu, pihaknya berupaya meningkatkan kreativitas masyarakat mengembangkan menu berbasis sumber daya lokal.
Kini, saatnya membangun budaya mengonsumsi menu alternatif dengan memanfaatkan potensi lokal.