Anggaran untuk Pelatihan Vokasi Mesti Tepat
JAKARTA, KOMPAS
Peningkatan daya saing tenaga kerja memerlukan kebijakan anggaran nasional yang tepat. Hingga saat ini, komitmen mewujudkan alokasi dana khusus pelatihan vokasi belum terwujud.
Direktur Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan Bambang Satrio Lelono, Jumat (16/11/2018), di Jakarta, mengatakan, hingga saat ini, pemerintah masih mematangkan pembahasan kebijakan dana pengembangan ketrampilan. Dia menuturkan, pembahasan teknis pelaksanaan tidak mudah.
"Wacana menggunakan dana APBN pernah digulirkan. Namun, wacana ini masih dibicarakan bersama Kementerian Keuangan," ujarnya.
Direktorat Jenderal Pembinaan Pelatihan dan Produktivitas Kementerian Ketenagakerjaan menerima anggaran Rp 4,1 triliun pada 2019, naik dari Rp 2,2 triliun pada 2018. Dana tersebut dibagi untuk berbagai kebutuhan, termasuk kegiatan peningkatan daya saing tenaga kerja.
Sebagai gambaran, pada tahun anggaran 2018, dana pelatihan dialokasikan debelar Rp 168,6 miliar, pemagangan Rp 70,7 miliar, dan sertifikasi profesi Rp 260 miliar. Bambang menekankan bahwa pelatihan yang digelar Kemnaker ini juga mencakup pelatihan bagi peserta balai latihan kerja dan wirausaha.
Adapun pada 2019, alokasi dana pelatihan sebesar Rp 316,18 miliar, pemagangan Rp 210 miliar, dan sertifikasi profesi Rp 526,18 miliar.
"Hal yang terus kami lakukan sekarang yaitu mendorong perusahaan menggelar pemagangan dan pelatihan," kata Bambang.
Sesuai data Kementerian Ketenagakerjaan, jumlah peserta program pemagangan meningkat, dari 6.780 orang pada 2014 menjadi 144.027 orang pada 2018.
Bambang menjelaskan, para peserta magang tersebut berlatar belakang lulusan sekolah menengah kejuruan dan perguruan tinggi. Pelaksanaan kegiatan terus berjalan. Dia mengklaim, sejauh ini, persentase peserta magang yang terserap ke industri berkisar 70 sampai 85 persen.
Dia mengakui, penyelenggaraan pelatihan kerja dilakukan oleh kementerian lain, seperti Kementerian Komunikasi dan Informatika dan Kementerian Perindustrian. Dia menegaskan, kedua instansi inipun memakai Standar Kompetensi Kerja Nasional (SKKNI) ketika menggelar pelatihan.
Sesuai data Badan Pusat Statistik, dari sekitar 124 juta penduduk bekerja di Indonesia, tercatat yang berpendidikan SD 40,69 persen, SMP 18,09 persen, SMA 18,01 persen dan SMK 11,03 persen, serta universitas 9,4 persen.
Direktur Eksekutif International Non-Governmental Organization Forum on Indonesian Development (INFID) Sugeng Bahagijo berpendapat, setiap tahun semestinya terdapat pelatihan kerja dan pemagangan bagi satu hingga dua juta angkatan kerja per tahun. Angka ini mengacu kepada target nasional serapan pekerja. Rata-rata unit biaya latihan berkisar 25 sampai 50 juta per tahun.
Sementara alokasi anggaran pemerintah, utamanya penggabungan dana Kemnaker dan Kementerian Perindustrian, hanya di bawah Rp 10 triliun. Situasi ini menyulitkan perluasan akses dan mutu tenaga kerja.
Dia menceritakan, sejumlah pemerintah negara maju telah memiliki kebijakan Training Levy atau iuran para pelaku industri untuk pelatihan kerja. Negara yang dimaksud, misalnya Inggris, Malaysia, dan Singapura. Pemerintah Indonesia melalui Kemnaker telah mengusulkan kebijakan serupa bernama dana pengembangan ketrampilan sejak tahun lalu. Hanya saja, kebijakan ini belum terealisasi sampai sekarang.
"Kendala utama adalah pemerintah Indonesia belum sepenuhnya menempatkan ketenagakerjaan di urutan kepentingan teratas," ujar Sugeng.
Dia mengapresiasi, Kemnaker dan Kementerian Perindustrian yang belakangan mulai mendorong kalangan pengusaha ikut memberikan pelatihan dan magang. Langkah seperti itu seharusnya segera ditiru oleh pemerintah daerah.
"Kami mengamati dinas ketenagakerjaan di daerah justru belum siap," kata Sugeng.
Sekretaris Eksekutif Labor Institute Indonesia Andy William Sinaga mengutarakan pandangan senada. Selain nilai kecil, anggaran pelatihan kurang dikelola secara koordinatif antara pemerintah pusat dan daerah. Dengan demikian, menurutnya perlu pemusatan anggaran vokasi ke satu lembaga.
Dia berpendapat, program pelatihan vokasi ataupun pemagangan yang kini berlangsung idealnya sejalan sesuai Instruksi Presiden No 9/2016 tentang Revitalisasi Sekolah Menengah Kejuruan. Akan tetapi, pada praktiknya di lapangan tidak seperti itu.
Pemagangan masih sering disalahartikan dengan cara menempatkan peserta sebagai bagian dari produksi. Peserta pun tidak dibayar upah memadai. Kemnaker perlu segera merevisi Peraturan Menteri Tenaga Kerja No 36 tahun 2016 Tentang Pemagangan Dalam Negeri agar memperhatikan prinsip dan norma perlindungan kerja bagi tenaga kerja magang. Contohnya, pemberian insentif minimal 50 persen dari upah minimum, perlindungan jaminan sosial kesehatan, dan ketenagakerjaan. (MED)