Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Bambang PS Brodjonegoro memberikan ilustrasi menarik tentang salah urus energi di Indonesia. Belajarlah dari Aceh. Demikian ringkasan pesan yang disampaikan Bambang.
Dalam pidato pembukaan untuk diskusi tentang pengelolaan energi di Indonesia, Jumat (16/11/2018), di Jakarta, Bambang menyinggung betapa kekayaan sumber daya alam Indonesia hanya diperlakukan sebagai komoditas semata. Diperjualbelikan untuk meraup pendapatan. Bukan dijadikan modal penggerak industri di dalam negeri.
Aceh pernah dikenal sebagai penghasil gas alam cair terbesar di dunia lewat PT Arun LNG yang ada di Kota Lhokseumawe. Mulai berproduksi sejak 1979, gas Arun diekspor ke Jepang dan Korea Selatan. Pada 1990, Arun tercatat sebagai produsen gas alam terbesar di dunia dengan kapasitas produksi mencapai 1,5 juta metrik ton per tahun.
Kini, sumur gas di Arun sudah kering. Operasi di Arun terhenti sejak Oktober 2014. Fasilitas yang ada di sana diubah fungsinya menjadi terminal regasifikasi yang mendapat pasokan gas alam cair dari Tangguh, Papua Barat.
Lalu, apa yang dampaknya bagi rakyat Aceh?
Pernah menjadi produsen gas alam terbesar di dunia tak lantas membuat Aceh menjadi wilayah yang sangat makmur. Data Bappenas menunjukkan sebuah ironi. Pada 2017, laju pertumbuhan produk domestik regional bruto Aceh 4,19 persen atau lebih rendah dari pertumbuhan ekonomi nasional yang sebesar 5,23 persen. Indeks pembangunan manusia 70,6 atau sedikit di bawah rata-rata nasional yang sebesar 70,81.
Yang lebih ironis, jumlah penduduk miskin di Aceh sebanyak 15,92 persen dari populasi. Melampaui angka kemiskinan nasional yang sekitar 10,12 persen. Sekali lagi, menjadi ironi karena kekayaan sumber daya alam di sana ternyata belum mampu menghasilkan kemakmuran dan kesejahteraan.
Barang dagangan
Indonesia dikaruniai kekayaan alam luar biasa. Apa yang tak ada di Nusantara ini? Semuanya ada. Mulai dari sumber daya tak terbarukan, seperti minyak, batubara, gas bumi, emas, tembaga, nikel, bauksit, sampai sumber daya terbarukan. Indonesia punya tenaga air, bayu, matahari yang bersinar sepanjang tahun, panas bumi, dan biomassa.
Hanya saja, lagi-lagi karunia alam itu diperlakukan sebagai barang jualan. Diperjualbelikan untuk memperbaiki neraca perdagangan. Batubara, misalnya, meski cadangannya hanya 2,5 persen dari total cadangan di dunia, ekspor batubara Indonesia adalah yang terbesar di dunia.
Pemerintah, menurut Bambang, sudah menerapkan tiga tujuan pembangunan energi dan sumber daya mineral nasional. Pertama, memprioritaskan pemenuhan energi di dalam negeri. Kedua, meningkatkan nilai tambah sumber daya alam. Ketiga, menunjang peningkatan ekonomi wilayah melalui penyediaan energi sebagai modal pembangunan ekonomi masyarakat.
Para pengambil kebijakan di negeri ini harus sadar bahwa sebagian kekayaan alam tersebut ada yang tidak bisa diperbarui. Suatu saat pasti akan habis dan tak tersisa. Mumpung kekayaan alam itu masih ada, meski cadangannya kian menipis, masih ada waktu untuk memperbaiki tata kelola sumber daya alam tersebut.
Kekayaan mineral, seperti nikel, tembaga, atau bauksit, harus diolah dan ditingkatkan lagi nilai tambahnya. Bijih bauksit, misalnya, ketika diolah menjadi logam aluminium nilainya melonjak sampai 30 kali lipat. Bijih nikel ketika sudah diolah menjadi baja lebih mahal 19 kali lipat. Begitu pula bijih timah ketika sudah menjadi produk akhir, harganya naik 10 kali lipat.
Peta jalan hilirisasi sudah disusun. Kini, peta jalan itu tinggal dieksekusi dengan kesungguhan dan konsistensi. Jika tak dimulai sekarang, apa yang mau diwariskan untuk generasi mendatang? (ARIS PRASETYO)