Perjalanan Menuju Snoepen
Perjalanan croissant Snoepen bagaikan kisah perjalanan usaha Djaka Farezki (42). Bermula dari bekerja di perusahaan penerbangan, menjadi fotografer lepas, kemudian beralih ke produsen kue. Croissant dan Snoepen kini menjadi jalan hidupnya.
Croissant yang bentuknya menyerupai bulan sabit itu berasal dari Perancis. Oleh Djaka, croissant dimodifikasi menjadi berbagai bentuk dan rasa khas Waroeng Snoepen. Warung itu ada di rumah toko (ruko) Pondok Hijau Indah, Geger Kalong, Bandung, Jawa Barat.
Di Snoepen -berasal dari bahasa Belanda yang berarti makanan ringan- antara lain tersaji croissant butter keju, croissant butter almond, croissant butter strawberry cream, dan frutten cake. Di tempat itu tersedia pula camilan bitterbalen atau poffertjes, burger, bolu ontbijtkoek, dan aneka kue kering.
Ditemui Kompas beberapa waktu lalu, Djaka sedang berada di dapur kerjanya di lantai II. Ia sedang memantau dan memandu tiga karyawatinya memindahkan aneka kue dari mesin pemanggang roti ke baki pendingin yang tersusun di rak. Kue itu akan didinginkan 40 menit.
Di tengah kesibukannya, Djaka menuturkan, satu mesin pemanggang roti dapat memanggang dua lusin croissant atau sepuluh loyang frutten cake. Waktu pembuatan aneka kue itu, mulai dari adonan hingga siap saji, berbeda-beda. Croissant bicolor strawberry dan creamy pandan, misalnya, membutuhkan waktu delapan jam.
Djaka juga menggunakan bahan baku pilihan, yaitu mentega (butter) dari Perancis, Selandia Baru, dan Belgia, yang jarang digunakan produsen kue. Pembeli atau pemesan sangat menyukai mentega Perancis karena rasa dan aroma wanginya khas.
“Rasa dan aroma wanginya ‘tidak bohong’. Di Bandung ada produsen kue dan roti mengaku menggunakan mentega Perancis. Namun setelah saya makan, kok tidak keluar khas wanginya,” kata Djaka.
Untuk menghasilkan tekstur croissant yang lebih klasik, harus menggunakan deck oven, bukan dengan alat pemanggang roti konvensional. Produknya juga akan tahan simpan, yaitu sekitar empat hari dalam ruangan dan sebulan di lemari berpendingin.
Tak hanya croissant rasa orisinal, Djaka juga memproduksi croissant kombinasi kacang almond, stroberi, dan pandan. Bitterballen berisi daging sapi yang luarnya dilapisi tepung panir. Adapun Poffertjes mirip kue cubit –kuliner warga Kota Bandung- yang lebih ringan teksturnya, dengan taburan gula halus dan kayu manis.
Kue-kue Waroeng Snoepen itulah yang menjadi favorit konsumen muda, dewasa, dan orang tua. Setiap hari, pembeli yang datang ke Waroeng Snoepen rata-rata 40 orang. Namun, setiap hari Djaka juga menyuplai kue produksinya ke tujuh kafe di Kota Bandung dan melayani pesanan pembeli dari Jakarta.
Untuk memberikan kenyamanan dan pengalaman menarik bagi pembeli, Djaka menata lantai I Waroeng Snoepen secara apik. Ruangannya didesain moderen tetapi sederhana. Di tempat itu tersedia juga meja dan kursi bagi pengunjung, lemari pajang aneka kue, dan ruang mesin adonan bahan baku kue dan roti. Ruang adonan itu sebagian berdinding kayu dan kaca.
“Tujuannya, apabila ada pembeli yang duduk, tidak terganggu. Bahkan banyak pula pembeli yang sarapan sambil nonton saya bikin adonan,” tutur Djaka.
Dari usahanya itu, omzet Djaka sekitar Rp 80 juta sebulan. Djaka bisa menggaji lima karyawan sebesar Rp 1,7 juta-Rp 2,2 juta per bulan per orang. Mereka bekerja pukul 06.00-18.00, mendapat makan siang, dan diperbolehkan membawa sisa adonan. Mereka juga mendapatkan uang lembur, sedangkan karyawan yang bekerja setahun mendapat tunjangan dan paket hari raya.
Ilmu
Djaka juga tidak pelit membagi ilmu kepada karyawan. Ia bahkan menyerahkan penanganan produk kue sus berbentuk lonjong kepada salah seorang karyawannya.
Dengan cara itu, Djaka bisa mengerjakan hal lain selain membuat kue, misalnya bertemu dan berbincang dengan pelanggan.
Pekerjaan dan profesi memang susah ditebak. Selepas Sekolah Tinggi Manajemen Transportasi Udara Universitas Trisakti Jakarta tahun 1998, Djaka yang lahir di Kota Mataram, Lombok, Nusa Tenggara Barat, bekerja di Perusahaan Penerbangan Cathay Pacific di Airport Services Department Bandara Soekarno-Hatta, Jakarta. Kemudian Ia dituguaskan ke Bandara Ngurah Rai, Bali, Januari-Agustus 2000.
Kemudian, pada 2000-2010, Djaka ditugaskan di markas Cathay Pacific Hong Kong. Sempat pindah kerja di berbagai perusahaan di Hong Kong, suami Prima Ayufatsari (41), seorang arsitek, ini merantau ke Singapura dan menjadi fotografer lepas. Ia kembali ke Tanah Air pada 2015.
Dengan modal upah bekerja di luar negeri, Djaka membuka usaha kue karena prospek pasarnya bagus. Latar belakang pendidikannya memang tidak sesuai dengan usaha kue yang dijalaninya saat ini. Djaka menyiasatinya dengan belajar meracik roti secara otodidak lewat internet. Bantuan dari kerabat juga ada, yang mengajarinya teknik membuat kue dan roti.
“Saya sampai mengajak omong adonan lantaraan sudah 10 loyang frutten cake gagal. Kuenya hancur, mudah patah saat keluar loyang. Belakangan saya tahu, ada kelebihan pencampuran terigu dalam adonan, sehingga tidak cukup kuat menahan semua bahan yang ada,” kata ayah dua anak kembar berusia delapan tahun.
Membeli bahan baku, pemasaran, dan pengiriman pun ditangani sendiri. Keluar-masuk kafe, minimarket, kedai-kedai kopi, memasarkan melalui media sosial Facebook dan Instagram, dijalaninya sendiri.
“Jangan pula pelit kasih contoh produk kita karena (kalau tidak begitu) orang tidak akan tahu rasa produk kita,” kata dia.
Setelah enam bulan berjualan, satu toko swalayan di Kota Bandung menerima produknya. Dari empat loyang bertambah menjadi delapan loyang frutten cake dan varian croissant mini. Kini selusin produknya sudah dipasarkan di swalayan tersebut.
Seiring dengan peningkatan omzet, Djaka memindahkan usahanya dari warung kecil ke ruko -sekarang yang ditempatinya- sejak Februari 2016.
“Saya ingin berkreasi, punya pabrik produk adonan croissant beku. Saya juga ingin menjadikan Waroeng Snoepen sebagai sentra menyantap kudapan,” begitu obsesi Djaka.