SUKOHARJO, KOMPAS--Sejak awal November, nilai tukar meninggalkan Rp 15.000-an per dollar AS, kembali ke kisaran Rp 14.000-an per dollar AS. Kecenderungan penguatan rupiah terhadap dollar AS ini membuat Bank Indonesia yakin kebijakan menaikkan suku bunga acuan BI berdampak positif bagi stabilitas moneter.
Pada Mei-November 2018, BI menaikkan suku bunga acuan sebanyak 175 basis poin (bps) atau 1,75 persen. Saat ini, suku bunga acuan BI sebesar 6 persen.
Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menyampaikan, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS kembali menguat setelah terdepresiasi sekitar 10 persen. Saat ini, tingkat depresiasi rupiah 7,14 persen sejak awal 2018. Nilai tukar berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate (Jisdor) pada Jumat (16/11/2018) sebesar Rp 14.594 per dollar AS.
“Hal ini merupakan salah satu indikator mengenai respons positif pasar keuangan domestik terhadap kebijakan moneter nasional,” ujar Dody dalam diskusi media di Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (17/11).
Secara internal, penguatan rupiah terhadap dollar AS ini juga membuktikan kondisi ekonomi fundamen Indonesia yang kuat, yang tercermin antara lain dari inflasi yang terjaga rendah. Tingkat inflasi Januari-Oktober 2018 sebesar 2,2 persen.
Di sisi eksternal, Dody optimistis, penguatan rupiah dapat terjaga seiring pertemuan Presiden Amerika Serikat dan Presiden China pada akhir November. Diharapkan, pertemuan ini berdampak positif terhadap kondisi perekonomian global.
Indikator lain perihal respons positif pasar adalah aliran modal asing yang masuk ke pasar Indonesia. Menurut Dody, pada 1-12 November 2018, aliran modal asing yang masuk sekitar Rp 24 triliun, berupa saham, surat berharga negara, dan surat utang korporasi.
Menurut Kepala Ekonom dan Investasi Strategis PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat, kebijakan BI itu dinilai sebagai diferensiasi oleh para investor. Oleh sebab itu, dia memprediksi, aliran masuk modal asing ke Indonesia dapat menguat pada 2019.
Menurut Budi, Indonesia berpeluang menjadi salah satu sasaran investasi. Optimisme itu berdasarkan kinerja ekonomi fundamen RI yang memberi kepastian penanaman modal.
Pasar modal
Pelaku pasar tetap perlu mewaspadai pelemahan indeks harga saham gabungan (IHSG) sepanjang pekan ini. Hari libur perdagangan dan aksi jenuh beli berpotensi kembali menekan IHSG yang telah kembali ke level 6.000-an.
Penguatan harga saham pada akhir pekan lalu diikuti aksi beli bersih investor asing yang tercatat Bursa Efek Indonesia (BEI) senilai Rp 1,65 triliun. Pada perdagangan akhir pekan lalu, IHSG ditutup menguat 0,95 persen atau 56,61 poin ke level 6.012,35.
Kepala riset Narada Kapital, Kiswoyo Adi Joe, saat dihubungi, Minggu (18/11/2018), memperkirakan, IHSG akan tertekan pada awal pekan ini. Namun, tekanan tersebut bukan disebabkan sentimen negatif, melainkan koreksi sehat akibat sikap jenuh beli investor setelah penguatan empat hari beruntun.
Defisit transaksi berjalan, lanjut Kiswoyo, masih berdampak menekan IHSG. Namun, kenaikan suku bunga acuan BI dan kondisi ekonomi makro yang baik membuat tekanan itu tak berlangsung lama. (JUD/DIM)