JAKARTA, KOMPAS--Pemerintah mewajibkan devisa hasil ekspor dari kegiatan pengusahaan dan pengelolaan sumber daya alam ditempatkan di dalam negeri. Ada empat sektor usaha yang menjadi sasaran, yakni pertambangan, perkebunan, kehutanan, dan perikanan.
Aturan dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI yang diluncurkan pemerintah pekan lalu ini berlaku mulai 1 Januari 2019.
Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja berpendapat, kewajiban menempatkan devisa hasil ekspor di dalam sistem keuangan nasional mesti dilengkapi peraturan teknis yang jelas dan rinci. Hal ini untuk menghindari pelanggaran ketentuan internasional dan meyakinkan eksportir untuk tetap bebas menggunakan devisa mereka.
“Pemerintah harus memperjelas aturan bukan menahan dollar AS untuk ditarik eksportir. Selanjutnya, untuk konversi devisa disesuaikan dengan kebutuhan eksportir,” katanya kepada Kompas, Minggu (18/11/2018).
Devisa hasil eskpor hasil sumber daya alam harus dilaporkan dalam sistem keuangan Indonesia dan ditempatkan dalam rekening khusus pada bank devisa dalam negeri. Rekening khusus itu pada bank umum dan kantor cabang bank asing di Indonesia yang mendapat izin melakukan kegiatan perbankan dalam valas.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso menambahkan, kewajiban menempatkan devisa hasil ekspor untuk komoditas sumber daya alam karena nilai ekspornya lebih besar dari impor. Kendati wajib ditempatkan di dalam negeri, pemerintah menjamin eksportir tetap bisa menggunakan devisa itu untuk pinjaman luar negeri, impor bahan baku, keuntungan, dan keperluan lain terkait penanaman modal. Eksportir juga tidak wajib mengkonversi dari dollar AS ke rupiah.
Denda
Eksportir komoditas sumber daya alam yang tidak memasukkan devisa ekspor ke dalam negeri, tidak memindahkan escrow account dari luar negeri ke bank devisa dalam negeri, dan menggunakan devisa tidak sesuai ketentuan akan dikenakan sanksi. Sanksi berupa tidak dapat melakukan kegiatan ekspor, denda, dan atau pencabutan izin usaha.
Direktur Eksekutif Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia (APBI) Hendra Sinadia berpendapat, sanksi bagi eksportir harus dikaji lebih lanjut. Mayoritas eksportir batubara mendukung kebijakan pemerintah untuk menarik devisa hasil ekspor untuk memperbaiki transaksi berjalan. Namun, implementasinya perlu waktu karena terikat perjanjian dengan pihak ketiga di luar negeri.
Berdasarkan data Bank Indonesia, devisa hasil ekspor pada Januari-Juni 2018 sebesar 69,88 miliar dollar AS. Dari jumlah itu, yang masuk ke dalam negeri sekitar 92,6 persen di antaranya atau 64,74 miliar dollar AS.
Secara terpisah, Deputi Gubernur BI Dody Budi Waluyo menekankan, kebijakan devisa hasil ekspor sumber daya alam tetap menjaga dan mempertahankan prinsip devisa bebas. “Kebijakan ini merupakan wujud semangat menstabilkan nilai tukar melalui peran swasta dan eskportir,” ujarnya di Sukoharjo, Jawa Tengah, Sabtu (17/11).
BI akan bekerja sama dengan Otoritas Jasa Keuangan membentuk rekening khusus devisa hasil ekspor itu. (KRN/JUD)