Kunyit Pengubah Stigma
Berbagai cara dilakukan untuk menghapus stigma. Langkah itu dilakukan Muhammad Sulaiman (37) di Lamteuba, Kecamatan Seulimum, Kabupaten Aceh Besar, Provinsi Aceh. Ia mengolah kunyit menjadi bubuk kunyit. Produknya diberi nama Aslam, singkatan dari Asli Lamteuba.
Tsunami 2004 menyeret langkahnya, pulang ke tanah kelahiran di Desa Blang Tingkeum, Kemukiman Lamteuba. Barang dagangan berupa pakaian lenyap dibawa gelombang tsunami. Lapaknya berjualan di Pasar Aceh porak poranda. Sulaiman harus kembali memulai usaha dari nol.
Beberapa tahun menganggur, Sulaiman membuka usaha percetakan. Namun, usaha itu tidak berkembang. Padahal, lokasi usahanya di pasar kecamatan. Tidak ingin lama terpuruk, ia banting setir menjadi petani. Sulaiman menanam kunyit di lahan seluas 1 hektar warisan dari orang tuanya.
Kala itu, aktivitas penanaman ganja masih marak. Lelaki dua anak itu justru ingin menghapus stigma buruk Lamteuba sebagai kampung ganja. “Lamteuba jangan lagi dikenal sebagai daerah penghasil ganja. Saya ingin warga fokus menjadi petani palawija. Kalau serius bertani, penghasilan tidak kalah dengan menanam ganja,” tutur Sulaiman.
Dengan alasan itulah, pada 2013 Sulaiman mencalonkan diri sebagai kepala desa. Warga memberikan kepercayaan kepada Sulaiman menjadi pemimpin desa itu. Selama menjadi kepala desa, Sulaiman mendorong warganya meninggalkan lahan ganja beralih ke palawija.
Pada awal 2015, desa itu dikunjungi relawan Inspirasi Anak Negeri (IAN). Salah satu kegiatannya adalah mendampingi pemberdayaan ekonomi warga berbasis sumber daya lokal. Relawan IAN mendorong Sulaiman untuk memproduksi bubuk kunyit agar nilai jualnya lebih tinggi. Saat itu, Sulaiman dan petani lain di desa itu menjual kunyit dalam bentuk rimpang dengan harga Rp 2.500 hingga Rp 3.000 per kilogram.
Produksi manual
Bermodal semangat, Sulaiman mulai memproduksi bubuk kunyit. Bahan bakunya diambil dari kebun sendiri. Saat itu, produksi dilakukan dengan cara yang masih serba manual. Kunyit dipilih, dicuci bersih, lalu diiris-iris menggunakan pisau, kemudian dijemur sampai kering. Kunyit yang telah dijemur, kemudian ditumbuk menggunakan alu sampai menghasilkan bubuk.
Semua tahapan produksi dilakukan di rumah. Sulaiman memasarkan bubuk kunyit itu ke pasar-pasar di Aceh Besar dan Banda Aceh. Kendati saat itu belum diberi merek, bubuk kunyit produksi Sulaiman laku keras.
“Ini bubuk kunyit murni, tidak ada campuran. Kunyit Lamteuba dikenal berkualitas, dengan kandungan curcuma yang tinggi,” ujar Sulaiman.
Melihat reaksi pasar, Sulaiman optimistis bubuk kunyit hasil produksinya memiliki prospek cerah. Dia mengurus perizinan ke dinas terkait agar produknya terdaftar dan legal. Namun, dia sempat bingung menamai bubuk kunyit produksinya. Diperlukan waktu sehari penuh untuk mencari nama yang cocok, yaitu bubuk kunyit Aslam, singkatan dari Asli Lamteuba. Sulaiman berharap, suatu saat Lamteuba dikenal sebagai sentra kunyit.
Usahanya kian berkembang. Pada 2016, Sulaiman mendapat bantuan dua unit mesin pembuat tepung dan satu unit mesin pengering dari Bank Indonesia. Produksinya perlahan-lahan bertambah dan kini menjadi 500 kilogram per bulan.
Usaha bubuk kunyit Aslam mampu menyerap tenaga kerja lepas sebanyak 20 orang dan pekerja tetap lima orang.
Produksi bubuk kunyit bertambah. Untuk mengatasi kebutuhan bahan baku, Sulaiman mulai membeli kunyit dari petani, seharga Rp 3.000 per kilogram. Kini, Sulaiman memiliki 20 petani binaan.
Akan tetapi, Sulaiman belum bisa menyerap seluruh kunyit hasil panen petani di daerahnya. Menurut perhitungan, produksi bubuk kunyit Aslam seharusnya bisa lebih banyak. Namun, dengan modal yang terbatas, Sulaiman kesulitan memberli bahan baku dan membiayai produksi sebanyak-banyaknya.
Akan tetapi, Sulaiman tetap yakin, usaha bubuk kunyit Aslam suatu saat akan tumbuh besar. “Cita-cita saya ingin membangun pabrik di Lamteuba. Dengan demikian, Lamteuba menjadi sentra kunyit,” ujarnya.
Bubuk Kunyit Aslam sebagian besar dijual ke Pulau Jawa untuk kebutuhan kosmetik dan jamu. Hanya sebagian kecil yang dipasarkan ke pasar lokal di Aceh untuk bumbu dapur. Harganya tergantung kualitas, yang berkisar Rp 40.000 sampai dengan Rp 60.000 per kilogram. Bubuk kunyit Aslam juga dijual dalam kemasan kecil berukuran 250 gram seharga Rp 15.000 dan 120 gram seharga Rp 10.000. Pendapatan kotornya sebulan mencapai Rp 18 juta.
Usaha bubuk kunyit Aslam juga menjadi bagian dari program grand design alternative development (GDAD), yakni alih lahan ganja menjadi lahan pertanian yang diluncurkan Badan Narkotika Nasional (BNN). Sulaiman dengan bangga menunjukkan piagam penghargaan dari mantan Kepala BNN Budi Waseso. Bubuk kunyit Aslam kini menjadi contoh program GDAD.
Beberapa petani binaan Sulaiman merupakan mantan petani ganja. Salah satunya Suhaimi (42), yang pernah divonis penjara. Seklauranya dari penjara, Suhaimi menjadi petani kunyit.
Menurut Suhaimi, menanam kunyit mendatangkan kebahagiaan, sedangkan ganja mengundang sengsara. “Ganja untungnya besar, tetapi risikonya juga besar, paling buruk hukuman mati,” ujar Suhaimi.
Kini, warga desa itu, termasuk Sulaiman dan Suhaimi, memiliki cita-cita yang sama, yakni mengubah stigma Lamteuba.