JAKARTA, KOMPAS — Otoritas Jasa Keuangan berkomitmen menyiapkan kebijakan paling tepat untuk memulihkan ekonomi masyarakat di daerah pascabencana. Formulasi kebijakan keringanan utang akan dibuat dengan bijaksana agar tidak dimanfaatkan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso memastikan restrukturisasi kredit akan disesuaikan dengan kondisi debitor. Selagi pendataan debitor dilakukan, pembayaran terhadap kredit dihentikan sementara.
”Restrukturisasi kredit bisa macam-macam, bisa bunga tidak dihitung, atau lamanya angsuran kredit diperpendek, tergantung dari kondisi nasabahnya,” ujarnya di Jakarta, Minggu (25/11/2018).
OJK masih belum menentukan sampai kapan penundaan atau kelonggaran pembayaran kredit akan berlangsung. Namun, Wimboh memaklumi jika ada sebagian kecil perbankan dan lembaga pembiayaan yang sudah mulai menagih nasabah akibat distorsi informasi di lapangan.
Wimboh meminta nasabah perbankan yang menjadi korban tsunami, gempa, tsunami, dan likuefaksi di Palu, Sulawesi Tengah, untuk melapor kepada OJK jika merasa sudah mulai dipaksa membayar kredit kepada perbankan atau lembaga pembiayaan.
Wimboh mengatakan, pihaknya telah mengirim tim ke lokasi bencana gempa Palu dan Donggala untuk menghitung dampak bencana terhadap sektor keuangan. ”OJK sudah mempunyai pengalaman bagaimana menormalisasi ekonomi di kawasan bencana,” ujarnya.
Saat kejadian bencana gempa bumi melanda Daerah Istimewa Yogyakarta pada 2006, pemerintah memerintahkan semua bank BUMN untuk menghapus utang kredit usaha mikro, kecil, dan menengah. Penghapusan disetujui DPR pada 2013.
Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Enny Sri Hartati mengatakan, pemerintah pusat, daerah, dan perbankan perlu saling bersinergi untuk mengidentifikasi masyarakat di daerah bencana.
Kebijakan restrukturasi kredit kepada para korban yang terdampak bencana harus dilakukan secara hati-hati dan teliti. ”Jangan sampai kebijakan yang ditujukan sebagai bantuan malah menjadi fraud karena diselewengkan oleh pihak tertentu,” ujarnya.
Enny menyadari memenuhi kewajiban atas utang kredit, baik itu kredit konsumer maupun kredit usaha, bukanlah perkara mudah. Kewajiban cicilan utang kredit tentu akan menambah beban masyarakat yang juga tengah berjuang untuk bertahan hidup.
”Wajar jika masyarakat menuntut pemutihan kredit selama kondisi belum pulih. Tentu berat bagi korban untuk menanggung kewajiban utang kredit mereka,” kata Enny.
Asuransi bencana
Di samping pelonggaran kredit untuk korban bencana, Enny mengingatkan kembali akan pentingnya pembiayaan dan asuransi risiko bencana. ”Asuransi bencana adalah langkah mitigasi paling tepat untuk negara rawan bencana seperti Indonesia,” ujarnya.
Pemerintah sebelumnya telah membahas strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana dalam Pertemuan Tahunan IMF-Bank Dunia 2018 di Bali.
Peta jalan strategi pembiayaan dan asuransi risiko bencana untuk jangka pendek tahun 2018-2019 telah diseleseaikan. Asuransi barang milik negara di bawah pengelolaan Kementerian Keuangan akan diterapkan tahun 2019.
Peta jalan ini dilanjutkan dengan penguatan dan pengembangan instrumen asuransi pertanian dan perikanan, eksplorasi potensi skema pembiayaan alternatif, serta edukasi dan penguatan kapasitas, untuk implementasi tahun 2019-2023.