JAKARTA, KOMPAS — PT Pertamina (Persero), sebagai satu-satunya BUMN di bisnis hulu dan hilir minyak dan gas bumi, harus bisa mengurangi ketergantungan terhadap impor. Pertamina juga diminta untuk memikirkan energi alternatif selain minyak dan gas bumi.
Ketergantungan pada impor akan memperbesar defisit neraca perdagangan.
Pesan itu disampaikan Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution di acara Pertamina Energy Forum 2018, Rabu (28/11/2018), di Jakarta. Kegiatan tahunan Pertamina ini menghadirkan pemangku kepentingan sektor minyak dan gas bumi, dari hulu sampai hilir. Forum ini merupakan rangkaian peringatan hari jadi ke-61 Pertamina.
Menurut Darmin, perekonomian nasional menghadapi tantangan berat seiring transaksi berjalan yang terus-menerus defisit. Bahkan, pada triwulan III-2018, defisit neraca perdagangan migas jauh lebih besar daripada surplus neraca perdagangan nonmigas. Di sisi lain, impor besi baja, produk petrokimia, dan kimia dasar semakin meningkat tajam.
”Sekitar 78 persen dari defisit neraca perdagangan hingga Oktober 2018 disumbang impor minyak mentah, bensin, solar, dan elpiji. Defisit yang terus membesar kian memberi tekanan terhadap rupiah,” ujarnya.
Untuk mengurangi ketergantungan pada impor, lanjut Darmin, Pertamina harus mempercepat realisasi pembangunan kilang baru yang terintegrasi dengan industri petrokimia. Selain itu, Pertamina diminta mengoptimalkan kebijakan mandatori B-20. Kebijakan ini berupa pencampuran biodiesel ke dalam solar sehingga setiap liter solar mengandung 20 persen biodiesel.
”Pertamina harus menjadi yang terdepan dalam pengembangan B-20, jangan setengah-setengah. Kalau ini bisa dilaksanakan dengan baik, saya percaya, situasi (tekanan ekonomi) ini bisa kita lewati,” ujar Darmin.
Direktur Utama Pertamina Nicke Widyawati mengatakan, sekitar 40 persen pasokan minyak mentah Pertamina didapat dari impor. Selain itu, sekitar 35 persen bahan bakar minyak (BBM) yang didistribusikan Pertamina juga harus didatangkan dari luar negeri. Selisih produksi minyak di dalam negeri dengan kebutuhan di dalam negeri yang besar itu menjadi tantangan tersendiri bagi Pertamina.
”Di sisi pengolahan minyak, kami sedang menuntaskan program pembangunan kilang baru dan revitalisasi kilang-kilang yang sudah ada. Adapun untuk mengurangi impor solar, kami berkomitmen melaksanakan mandatori B-20," kata Nicke.
Diversifikasi
Deputi Bidang Usaha Pertambangan, Industri Strategis, dan Media Kementerian BUMN Fajar Harry Sampurno menambahkan, meningkatkan produksi minyak di dalam negeri sangat penting. Namun, ia mengingatkan Pertamina untuk fokus pada diversifikasi energi, seperti pengembangan tenaga panas bumi dan bahan bakar nabati. Pertamina juga didorong untuk meningkatkan nilai tambah di dalam negeri.
”Kerja sama Pertamina dengan PT Bukit Asam (Persero) Tbk untuk proyek gasifikasi batubara sangat penting dalam upaya mengurangi impor elpiji. Elpiji yang dikonsumsi di Indonesia sekitar 70 persennya adalah hasil impor. Kalau memungkinkan bisa mengurangi sama sekali impor elpiji meskipun ini (gasifikasi batubara) bisa digunakan untuk bahan baku lain, seperti plastik,” kata Fajar.
Data Kementerian BUMN menunjukkan, konsumsi migas nasional mencapai 1,7 juta barel per hari. Dari jumlah tersebut, Pertamina harus mengimpor 900.000 barel per hari. Adapun sisanya, yaitu 800.000 barel per hari, diproduksi di dalam negeri. Konsumen migas terbesar adalah industri (48 persen) yang disusul sektor transportasi (35 persen). Sementara sisanya sektor rumah tangga (11 persen), komersial (4 persen), dan lain-lain (2 persen).
Terkait kilang, Pertamina sedang menuntaskan pembangunan dua kilang baru di Bontang, Kalimantan Timur, dan di Tuban, Jawa Timur. Kilang-kilang baru tersebut masing-masing berkapasitas 300.000 barrel per hari.