Lisa Farida Memandirikan Warga Difabel dengan Batik
Keinginan untuk kembali membatik dan membantu warga tuna rungu, mendorong Lisa Farida (40) mengubah perjalanan hidup. Dia memutuskan berhenti, keluar dari pekerjaan formal di sebuah perusahaan multinasional. Lisa membuka usaha, memproduksi baju batik, dengan mempekerjakan warga tuna rungu.
Titik balik itu terjadi pada tahun 2007. Sebelumnya ia menjalankan produksi batik sebagai usaha sampingan. Setahun kemudian dia menetapkan usaha tersebut sebagai fokus utama.
Semula, dia hanya mengajak tiga orang tuna rungu dari lingkungan sekitarnya. Tidak hanya diajari menjahit, mereka diajari membuat pola, dan desain-desain baru agar model baju batik tidak monoton dan kuno.
Secara getok tular, mulut ke mulut, banyak orang, terutama sesama warga tuna rungu, berminat bergabung dengan Lisa. Usaha yang dibangun Lisa akhirnya sekaligus juga menjadi ruang belajar.
Kebanyakan warga tuna rungu, biasanya terlebih dahulu melihat selama berbulan-bulan sebelum akhirnya memutuskan mau ikut memotong dan menjahit. Kini, Lisa sudah memiliki delapan orang tuna rungu sebagai tenaga kerja. Namun, di luar itu, sudah ada sedikitnya 12 orang tuna rungu lainnya yang memilih lepas dari Lisa dan membuka sendiri secara mandiri.
Industri rumah tangga busana batik yang dikerjakan oleh para tuna rungu ini pun berbuah manis. Kerap mengikuti pameran, baju-baju batik produksi Lisa yang berlabel Anindya Batik ini dipasarkan ke seluruh Indonesia, dari Jawa, Sulawesi, Sumatera hingga Papua.
Produk mereka juga diekspor ke sejumlah negara di Afrika, India. Beberapa waktu lalu, dia baru saja menerima pesanan 1.000 setel baju batik dari Jeddah.
Usaha Anindya Batik memproduksi 6-10 baju per hari. Pada saat menerima pesanan seragam dari instansi tertentu, Lisa bersama para karyawannya bisa memproduksi 12-15 baju per hari.
Membantu usaha
Kehidupan Lisa sangat dekat dengan orang-orang yang cacat fisik, terutama para tuna rungu. Selain kerabatnya, di lingkungan tempat tinggalnya, dia pun juga mengetahui, dan mengenal sejumlah warga tuna rungu lain di sekitarnya.
Menurut Lisa, mereka memiliki cerita dan kesulitan yang sama, yaitu kesulitan diterima bekerja.Tidak hanya itu, rasa minder, dan kesulitan untuk berinteraksi mereka yang normal, juga membuat mereka juga kesulitan untuk berwirausaha.
Kegagalan berwirausaha itulah yang juga diceritakan oleh tiga penjahit tuna rungu kepada Lisa. Tiga orang yang juga sekaligus menjadi tetangganya tersebut, mengaku sering diprotes oleh pelanggan. Banyak yang datang untuk menjahitkan baju, kecewa dan kesal karena keinginan mereka tidak ditangkap dengan baik oleh para penjahit.
“Komunikasi tidak bisa terjalin dengan baik karena pelanggan tidak bisa berbahasa isyarat. Penjahit juga tidak bisa mendengar dan berbicara dengan baik. Para penjahit tuna rungu ini hanya bisa menerka maksud dan keinginan pelanggan. Banyak terkaan keliru, sehingga akhirnya menghasilkan model pakaian yang salah,” ujarnya. Padahal kualitas jahitan ketiga penjahit tersebut sangat bagus dan rapi.
Cerita dari tiga penjahit dan sejumlah kisah serupa lainnya, pada akhirnya menganggu perasaan Lisa. Di pun tergerak untuk membantu. Lisa yang memang terlahir dari keluarga pembatik di Pekalongan, kemudian memutuskan untuk mengajak tiga orang tersebut untuk bekerja. Mereka pun bersama-
sama merintis usaha produksi baju batik.
Di awal usaha, Lisa pun melatih tiga penjahit tersebut segala sesuatu terkait produksi baju batik, mulai memotong kain, membuat pola, membuat desain, hingga finishing. Setelah semuanya bisa dilakukan dengan lancar, maka usaha produksi baju batik pun dimulai dengan menggunakan 40 lembar kain batik, karya dari sepupu Lisa. Setelah 40 kain itu menjadi 40 baju, Lisa pun mempromosikan hasil karya tiga penjahit tersebut ke Dewan Kerajinan Nasional Daerah (Dekranasda) Jawa Tengah dan Dinas Perdagangan Jawa Tengah. Produk baju batik tersebut diterima dan laris terjual.
Sembari terus memperluas relasi dan jaringan pemasaran, Lisa yang ketika itu masih menjalankan pekerjaan formalnya sebagai supervisor, terus bergerak menjalankan produksi. Berbekal relasi tersebut, Lisa kerap diundang dan diminta untuk terlibat dalam pameran di berbagai daerah di Indonesia. Seiring dengan itu, permintaan baju batik Anindya Batik pun terus meningkat.
Jika sebelumnya hanya menjalankan produksi ketika ada produk baju mulai menipis atau nyaris kehabisan stok, maka seiring waktu, demi memenuhi permintaan, usaha Anindya Batik pun terus melakukan kegiatan produksi secara kontinu. Tahun 2012, setelah lima tahun menjalankan usaha dan permintaan terus meningkat, Lisa pun memutuskan berhenti dari pekerjaan formalnya. Dia memfokuskan diri pada usaha batik.
“Saya merasa kegiatan usaha dan pemberdayaan warga tuna rungu ini, tidak mungkin lagi untuk dibiarkan sebagai usaha sampingan belaka,” ujarnya.
Pembelajaran
Tidak sekedar kondang dengan label dan kualitas produknya, usaha baju batik Lisa pun kian dikenal karena mempekerjakan warga tuna rungu. Cerita-cerita tentang pengalaman bekerja di Anindya Batik ini, disampaikan oleh tiga karyawan Lisa secara getok tular, sehingga menyebar dan diketahui oleh banyak orang. Hal ini pun mendorong banyak warga tuna rungu lainnya untuk ikut terlibat bekerja. Namun, kebanyakan dari mereka biasanya kurang percaya diri.
Biasanya mereka lebih suka untuk menonton aktivitas produksi terlebih dahulu. Aktivitas “hanya menonton” ini dilakukan hingga sekitar tiga bulan.
Kendati demikian, Lisa mengatakan, dirinya tetap merespons baik mereka semua yang datang hanya untuk menonton.
“Walaupun tidak melakukan apa-apa dan hanya melihat aktivitas temannya, mereka yang datang itu tetap saya beri uang transport untuk pulang,” ujarnya.
Hal itu terus dilakukan Lisa hingga kini. Dia pun masih membuka kesempatan seluas-luasnya bagi siapa saja, terutama warga difabel, untuk belajar dan bekerja bersamanya.
Ketika karyawannya pun sudah cukup pandai memproduksi baju-baju batik, Lisa pun tidak melarang, dan justru mendorong mereka untuk membuka usaha sendiri. Kini, 12 karyawan, “alumni” dari usaha batik Lisa pun sudah mandiri membuka usaha jahit sendiri, yang tersebar di berbagai daerah seperti Pekalongan, Kendal, Magelang, dan Karanganyar.
Kepedulian Lisa pada warga difabel juga mendorongnya untuk bergabung dalam Rumah Difabel Semarang, sebuah lembaga pendidikan dan pelatihan swadaya bagi warga difabel. Dia pun terbuka setiap saat jika sewaktu-waktu lembaga tersebut mengirimkan warga difabel untuk belajar menjahit atau membatik.
Lisa Farida
Lahir: Pekalongan, 9 Oktober 1978
Pendidikan: Sarjana Universitas Semarang
Pekerjaan: Pemilik usaha Anindya Batik
Suami: Handri (43)
Anak: Anindya (16).