JAKARTA, KOMPAS — Modal asing diperkirakan kembali masuk ke negara-negara di Asia Tenggara jika perang dagang antara Amerika Serikat dan China terus berlanjut. Indonesia mesti siap beradu strategi untuk menarik investasi asing langsung ini.
Berdasarkan data Bank Indonesia yang dikutip Kamis (29/11/2018), investasi langsung pada triwulan I-III 2018 sebesar 9,9 miliar dollar AS. Sementara, data Badan Koordinasi Penanaman Modal menunjukkan, investasi langsung pada Januari-September 2018 mencapai Rp 535,4 triliun, yang terdiri dari penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan, perkembangan dinamika perang dagang AS-China akan ditentukan dalam Konferensi Tingkat Tinggi G-20 di Buenos Aires, Argentina, 30 November-1 Desember 2018. Jika AS dan China tidak mencapai titik temu, negara-negara di kawasan Asia Tenggara akan terkena dampak tidak langsung.
”Kalau investor tetap bertahan di China terus akan susah, (karena) setiap ekspor akan dikenai bea masuk AS. Mereka pasti akan bergerak dan berencana relokasi ke negara-negara lain,” ujarnya.
Laporan survei terbaru Kamar Dagang Amerika Serikat di China selatan menyebutkan, hampir 80 perusahaan di China merugi akibat perang dagang. Jika dinamika ini terus berlanjut, mereka mempertimbangkan untuk merelokasi beberapa atau semua manufaktur dari China. Negara-negara di kawasan Asia Tenggara menjadi pilihan pertama lokasi baru bagi investor.
Dalam laporan survei juga disebutkan, investasi yang cukup besar membidik Asia Tenggara adalah sektor manufaktur. Investasi di bidang teknologi informasi dan komunikasi akan menyasar Malaysia dan Vietnam karena keberadaan sejumlah perusahaan elektronik besar di dua negara itu. Sementara, investor otomotif diperkirakan masuk lebih banyak ke Thailand dan Malaysia.
Kesiapan
Dalam kesempatan itu, Darmin menyampaikan, titik berat persoalan adalah kesiapan Indonesia untuk bersaing dengan negara-negara tetangga dalam menarik investasi. Pesaing utama Indonesia saat ini adalah Malaysia, Thailand, dan Vietnam. Mereka cukup atraktif memberikan berbagai insentif berusaha kepada pemodal asing, termasuk insentif fiskal.
Indonesia, tambah Darmin, akan segera menerbitkan dan memberlakukan insentif fiskal yang dirumuskan dalam Paket Kebijakan Ekonomi XVI.
Wakil Direktur Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Eko Listiyanto menyampaikan, Indonesia mesti lebih agresif melakukan ekspansi pasar dan memperkuat pasar regional dalam menghadapi perang dagang. Ekspansi pasar terutama ke negara-negara mitra dagang non-tradisional, seperti Afrika dan Eropa Timur. Sementara, pasar regional diperkuat dengan memberikan nilai tambah pada produk ekspor.
”Optimalisasi peran lembaga penelitian dan peningkatan investasi jadi kunci penting,” kata Eko.
Upaya menarik investasi asing langsung tersebut bukan berarti mengesampingkan kontribusi usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) dalam perekonomian Indonesia. Atas instruksi Presiden, lima bidang usaha batal direlaksasi dari daftar negatif investasi. Empat bidang usaha kembali dicadangkan untuk UMKM dan koperasi, serta satu bidang usaha dengan persyaratan kemitraan.
Sekretaris Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Susiwijono Moegiarso mengatakan, sektor yang tidak dikeluarkan dari daftar negatif investasi akan kembali terikat peraturan perizinan. Namun, pemerintah akan memberikan kemudahan, misalnya izin usaha mikro kecil (IUMK) akan masuk sistem online single submission.
”Tadinya kalau keluar dari daftar negatif investasi, aturan perizinan sektor usaha UMKM itu dihapuskan,” katanya.
Susiwijono berpendapat, pemilihan bidang usaha sudah mempertimbangkan peluang masuknya modal asing akibat perang dagang. Mayoritas kebijakan diarahkan untuk menarik investasi langsung.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Adhi S Lukman menambahkan, investasi di bidang usaha yang mayoritas dikelola pengusaha kecil dan rumah tangga ini lesu sepanjang 2018.