JAKARTA, KOMPAS — Himpunan Industri Mebel dan Kerajinan Indonesia atau HIMKI masih menunggu realisasi kebijakan pemerintah untuk mendukung perkembangan sektor industri mebel. Dukungan tersebut diharapkan mendorong efisiensi di proses produksi dan ekspor.
Pusat Data dan Informasi Kementerian Perindustrian mencatat, nilai ekspor mebel Indonesia cenderung stagnan di kisaran 1,6 miliar dollar Amerika Serikat (AS) selama tahun 2016-2017. Sekretaris Jenderal HIMKI, Abdul Sobur mengatakan, nilai ekspor ini kalah jauh bila dibandingkan dengan Malaysia dan Vietnam.
"Indonesia ada di peringkat 17, sedangkan Malaysia dan Vietnam tergolong 10 besar yang nilai ekspornya tinggi," kata Sobur saat mengisi seminar nasional di Hotel JS Luwansa, Jakarta, Jumat (30/11/2018).
HIMKI telah merencanakan cara agar nilai ekspor mebel mencapai 5 miliar dollar AS pada tahun 2024. Namun, Sobur mengatakan hal itu terkendala dengan kebijakan Sistem Verifikasi Legalitas Kayu (SVLK), yang menambah biaya untuk kewajiban sertifikasi kayu.
"Adanya sistem itu membuat produk mebel lokal jadi kalah bersaing secara harga dengan produk China yang saat ini mendominasi pasar," tutur Sobur.
Kendala lain yaitu belum diterapkannya proses produksi dengan mesin berbasis Computer Numerical Control (CNC) yang lebih modern. Pengadaan mesin tersebut masih menunggu skema pembiayaan dari Kementerian Perindustrian pada 2019.
Meningkatkan nilai
Direktur Bina Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hutan dari Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), Sigit Pramono, mengatakan, prosedur SVLK dilakukan untuk menjawab tuntutan pasar mebel internasional terkait isu penebangan liar (illegal-logging).
Sertifikasi dari SVLK tersebut setara dengan aturan sertifikasi kayu taraf internasional dari Forest Stewardship Council (FSC). "Memang saat ini SVLK hanya dipakai untuk ekspor ke kawasan Uni Eropa saja. Namun, kami akan promosikan sistem itu ke negara sasaran ekspor lainnya untuk menjamin kualitas bahan kayu Indonesia," kata Sigit.
Sementara itu, skema pengadaan mesin yang lebih modern juga sedang diusahakan oleh kementerian terkait. Kepala Subdirektorat Industri Kayu dan Rotan Kementerian Perindustrian, Mahardi Tunggul Wicaksono, mengatakan skema pengadaan mesin masih disusun, sesuai peraturan menteri yang berlaku.
"Skema pembiayaannya akan berbentuk subsidi, yakni sebesar 20 hingga 30 persen dari total biaya pembelian mesin. Kami masih menimbang konsep bantuan yang sesuai dengan Undang-undang Nomor 3 tahun 2014 tentang Perindustrian," kata Tunggul.
Dalam rangka peningkatan jumlah tenaga kerja berbasis industri mebel, Tunggul mengakui belum banyak terdapat sekolah vokasi yang spesifik mengajarkan bidang mebel. Dua tahun terakhir, Kementerian Perindustrian membentuk sekolah vokasi Politeknik Industri Furnitur dan Pengolahan Kayu di Kendal, Jawa Tengah, untuk memenuhi kuota tersebut.
Dari sekolah vokasi tersebut, terdapat 99 tenaga kerja yang dapat segera diserap oleh perusahaan industri mebel setempat. Selain itu, Kementerian Perindustrian juga berusaha menghubungkan sekolah vokasi di daerah-daerah lain agar dapat tersalur dengan kebutuhan industri yang sesuai.
Untuk memenuhi kebutuhan ekspor, Direktur Pengembangan Produk Ekspor Kementerian Perdagangan, Ari Satria, berpendapat, bahwa selama ini industri mebel terlalu bergantung pada pangsa pasar dari Amerika dan China, yang sudah rutin bermitra dengan Indonesia. Kementerian Perdagangan akan membawa produk industri sektor nonmigas ke negara-negara di luar pangsa pasar Indonesia.
"Di tahun 2019, kami akan coba membawa sektor industri nonmigas ke 19 negara untuk tujuan misi dagang. Selain mengenalkan industri mebel lewat pameran, perlu dicoba juga melalui hubungan kemitraan antar negara secara langsung," kata Ari. (E19)