JAKARTA, KOMPAS --Penguatan rupiah membuka ruang lebih besar untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. Namun, tekanan eksternal yang bersumber pada ketidakpastian ekonomi global dan perang dagang Amerika Serikat dan China yang berlanjut harus tetap diantisipasi.
Berdasarkan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate, nilai tukar pada Jumat (30/11/2018) sebesar Rp 14.339 per dollar AS. Nilai tukar ini yang terkuat sejak Juli 2018. Pada 10 Juli 2018, nilai tukar Rp 14.326 per dollar AS.
Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution berpendapat, dinamika penguatan rupiah masih didominasi faktor eksternal. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS bisa konsisten menguat jika AS dan China sepakat menurunkan tekanan perang dagang, didukung rencana Bank Sentral AS mengurungkan kenaikan suku bunga acuan tahun ini.
“Kita masih punya ruang penguatan rupiah ke arah Rp 13.000-an dengan catatan tidak ada kejadian aneh-aneh lagi yang menimbulkan sentimen negatif,” kata Darmin, Jumat (30/11/2018).
Penguatan rupiah menjadi momentum untuk menarik modal asing lebih besar ke dalam negeri. Dengan cara itu, surplus transaksi modal dan finansial meningkat sehingga mampu mengimbangi defisit transaksi berjalan. Pemerintah, kata Darmin, tak akan mati-matian memperkuat nilai tukar rupiah, tetapi lebih fokus memperbaiki defisit transaksi berjalan.
Berdasarkan data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan pada Januari-September 2018 sebesar 2,86 persen produk domestik bruto (PDB). Adapun defisit transaksi berjalan 2016 sebesar 1,82 persen PDB dan pada 2017 sebesar 1,7 persen PDB.
Darmin menambahkan, defisit transaksi berjalan yang cukup dalam pernah dialami Indonesia pada 2015, yakni 3,2 persen PDB. Pada kondisi itu, nilai tukar rupiah terhadap dollar AS menyentuh Rp 14.000-an per dollar AS. Kondisi itu direspons pemerintah dengan menerbitkan serangkaian paket deregulasi.
“Kalau situasi-situasi seperti itu, kalau pasar lagi bergejolak memang sulit dilawan. Namun, begitu dia (pasar) mulai tenang bisa dipengaruhi juga,” ujarnya.
Secara terpisah, pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Faisal Basri mengatakan, penguatan rupiah tidak bisa dijadikan tolok ukur daya saing ekonomi Indonesia. Defisit transaksi berjalan mendesak diperbaiki karena mencerminkan produktivitas negara. Transaksi berjalan menjadi tolok ukur kemampuan negara untuk menjual barang dan jasa.
Bertahan
Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS diperkirakan bertahan lama. Penguatan ini akan mengurangi beban industri pengolahan pengimpor bahan baku sekaligus mendorong pertumbuhan kredit.
Kepala Pusat Studi Ekonomi dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada Yogyakarta, A Tony Prasetiantono menyampaikan, penguatan rupiah diperkirakan bertahan lama karena kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS pada tahun depan tidak akan seagresif tahun ini. Hal itu berdasarkan pertimbangan inflasi AS sudah mendekati level ideal 2 persen.
Faktor lain adalah harga minyak mentah dunia pada 2019 yang diperkirakan masih rendah. Sebab, kelebihan pasokan minyak mentah belum dapat diatasi dalam jangka pendek dan AS masih menghendaki harga murah.
Di pasar tunai, rupiah diperjualbelikan di level Rp 14.276-Rp 14.355 per dollar AS. Pada Januari-30 November 2018, rupiah terdepresiasi 5,51 persen.
Ekonom PT Bank Permata Tbk Josua Pardede mengemukakan, tren penguatan rupiah akan berpengaruh positif bagi industri pengolahan. Beban impor perusahaan yang masih mengandalkan impor bahan baku cenderung semakin rendah, sehingga akan mengurangi potensi penyesuaian harga-harga produk.
Penguatan rupiah akan menekan risiko kredit secara khusus bagi debitor atau perusahaan yang memiliki kewajiban rupiah namun tidak memiliki eksposur ekspor. Secara makro, stabilitas rupiah akan mendukung daya beli masyarakat dan konsumsi domestik sehingga dapat mendukung aktivitas produksi dan belanja modal perusahaan.
Ketua Umum Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia Adhi S Lukman menuturkan, industri tidak bisa membeli stok bahan baku terlalu lama. Yang bisa dioptimalkan adalah berusaha membuat kontrak bahan baku dengan posisi nilai tukar yang menguat.
Menurut Adhi, ketidakstabilan nilai tukar akan menyulitkan pelaku industri. Kehati-hatian diperlukan, termasuk ketika tawar-menawar. (KRN/HEN/CAS/ARN)