JAKARTA, KOMPAS — Perekonomian global pada 2019 tetap menantang kendati Amerika Serikat dan China sepakat menurunkan tekanan perang dagang. Risiko pelambatan pertumbuhan ekonomi global dan penurunan harga komoditas mesti diwaspadai Indonesia dengan segera merealisasikan program industrialisasi dan hilirisasi.
”Problem besar yang kita hadapi adalah defisit transaksi berjalan. Kita tahu masalahnya, kita tahu motifnya, tetapi kita tidak pernah mengeksekusi sampai dengan akarnya,” kata Presiden Joko Widodo dalam pidato pembukaan CEO Networking 2018 di Jakarta, Senin (3/12/2018).
Dalam pidatonya, Presiden Joko Widodo meminta pelaku usaha melakukan industrialisasi dan hilirisasi untuk memperbaiki defisit transaksi berjalan. Ekspor bahan mentah harus dikurangi secara bertahap. Apalagi, harga komoditas global diperkirakan turun pada 2019. Setiap tahun, Indonesia setidaknya mengekspor 480 juta ton batubara, 42 juta ton minyak sawit, dan jutaan ton mineral bauksit.
”Setiap tahun jutaan ton bauksit mentah kita ekspor seharga 35 dollar AS per ton. Di sisi lain, kita mengerti semua, pabrik aluminium kita setiap tahun mengimpor aluminium yang merupakan poduk hilir dari bauksit,” katanya.
Oleh karena itu, menurut Presiden Joko Widodo, jalan keluar menekan defisit transaksi berjalan adalah dengan industrialisasi dan hilirisasi.
”Kuncinya memang di industrialisasi dan hilirisasi,” ujarnya.
Dengan hilirisasi, sejumlah industri tidak perlu lagi mengimpor bahan baku setengah jadi. Sebab, bahan baku hasil olahan sudah tersedia di dalam negeri. Selain itu, nilai ekspor berpotensi meningkat karena harga produk hasil hilirisasi lebih tinggi dibandingkan dengan bahan mentah.
Berdasarkan data Bank Indonesia, defisit transaksi berjalan pada Januari-September 2018 sebesar 2,86 persen produk domestik bruto (PDB). Adapun defisit transaksi berjalan 2016 sebesar 1,82 persen PDB dan pada 2017 sebesar 1,7 persen PDB.
Di tengah ketidakpastian global, realisasi industrialisasi dan hilirisasi akan berdampak ganda. Pertumbuhan ekonomi nasional bisa terdongkrak seiring pertumbuhan ekspor dan investasi. Kepercayaan pasar juga kembali tumbuh karena ada perbaikan transaksi berjalan.
”Yang kita bangun sekarang kepercayaan, tidak ada yang lain,” kata Presiden.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, perekonomian global masih diselimuti ketidakpastian karena kesepakatan AS dan China bersifat temporer. Dalam forum G-20 di Argentina, kemarin, sejumlah negara mulai mengesampingkan kerja sama multilateral dan lebih mengutamakan kerja sama bilateral.
Kondisi tersebut mengakibatkan pertumbuhan ekonomi global semakin terkoreksi.
Organisasi Kerja Sama dan Pembangunan Ekonomi (OECD) mengubah proyeksi ekonomi 2019 dari 3,9 persen menjadi 3,5 persen. Penurunan proyeksi pertumbuhan ekonomi juga dirilis Dana Moneter Internasional (IMF) dari 3,9 persen menjadi 3,7 persen.
”Sumber pertumbuhan ekonomi dunia, AS dan China, dalam kerapuhan. Kondisi tersebut memungkinkan berimbas ke ekonomi global,” kata Sri Mulyani.
Antisipasi gejolak
Menurut Sri Mulyani, gejolak ekonomi global pada 2019 tidak akan sebesar tahun ini. Perekonomian tetap tumbuh kendati dalam level yang cukup rendah. Oleh karena itu, strategi pemerintah difokuskan untuk meningkatkan konsumsi domestik. Konsumsi domestik ini bisa jadi penyangga jika pengaruh eksternal terhadap investasi dan ekspor cukup besar.
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo menambahkan, BI sudah menghitung dan mengantisipasi berbagai gejolak ekonomi global yang mungkin muncul, termasuk kenaikan suku bunga acuan bank sentral AS, The Fed, pada Desember 2018 dan Maret 2019. Ada kemungkinan The Fed hanya akan dua kali menaikkan suku bunga acuan pada 2019.
Kebijakan moneter kini diarahkan ke stabilitas aspek permintaan. Perekonomian diyakini tetap tumbuh kendati tidak signifikan. BI memproyeksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada 2019 berkisar 5-5,4 persen, investasi bisa mencapai 7 persen, dan inflasi terjaga 3,2 persen.
”Defisit transaksi berjalan diarahkan ke 2,5 persen terhadap produk domestik bruto,” kata Perry.
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Inarno Djajadi menambahkan, dinamika ekonomi global dan domestik sangat memengaruhi aktivitas investasi di Indonesia. Kinerja pasar modal tahun ini cukup baik. Pada 2018, BEI memfasilitasi 53 perusahaan untuk menawarkan saham perdana (IPO). Jumlah investor sebanyak 1,5 juta investor. (KRN/NTA)