Nilai Surat Utang Makin Berkurang
JAKARTA, KOMPAS--Kementerian Keuangan menerbitkan surat utang negara dalam denominasi dollar AS sebesar 3 miliar dollar AS untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan tahun anggaran 2019. Nilai penerbitan surat utang semakin kecil seiring defisit APBN yang menurun.
Nilai penerbitan surat utang denominasi dollar AS ini semakin berkurang, setidaknya dalam tiga tahun terakhir. Pada akhir 2017, surat utang yang diterbitkan sebesar 4 miliar dollar AS, sementara pada 2015 dan 2016 masing-masing 3,5 miliar dollar AS.
“Hal ini karena defisit APBN 2019 lebih kecil, sehingga kebutuhan pembiayaan juga lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2018 dan sebelumnya,” kata Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Luky Alfirman yang dihubungi Kompas, Selasa (4/12/2018).
Defisit APBN 2019 ditargetkan sebesar 1,84 persen terhadap produk domestik bruto (PDB). Sementara, proyeksi defisit APBN 2018 sebesar 1,98 persen PDB karena utang baru tahun 2018 dapat dikurangi hingga Rp 30 triliun.
Kondisi pasar yang cukup kondusif pasca Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) G20 juga menjadi pertimbangan pemerintah untuk menerbitkan surat utang berdenominasi AS dalam waktu yang lebih cepat. Imbal hasil untuk masing-masing seri surat utang juga bisa lebih bersaing.
Transaksi penjualan surat utang valas ini memperoleh peringkat Baa2 dari Moody\'s, BBB- dari Standard & Poor\'s, serta BBB dari Fitch. Penerbitan surat utang akan dicatatkan pada Singapore Stock Exchange dan Frankfurt Stock Exchange.
Berhati-hati
Pemerintah tetap berhati-hati menyusun strategi pembiayaan utang APBN 2019. Pembiayaan utang bersih dalam APBN 2019 sebesar Rp 359,25 triliun. Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan proyeksi APBN 2018 yang sebesar Rp 399,18 triliun.
Mengutip siaran pers Kementerian Keuangan, strategi pembiayaan utang tetap melalui penerbitan surat berharga negara (SBN) dan pinjaman, baik dalam denominasi valas maupun rupiah. Kebutuhan pembiayaan utang tahun 2019 akan dipenuhi melalui lelang SBN dan surat berharga syariah negara (SBSN), masing-masing 24 kali.
Dalam APBN 2019, target penerbitan SBN bruto sebesar Rp 825,7 triliun, sedangkan SBN netto sebesar Rp 388,96 triliun.
Percaya
Kepala Ekonom dan Riset PT Bank UOB Indonesia Enrico Tanuwidjaja mengatakan, kesuksesan penjualan SUN senilai 3 miliar dollar AS itu menunjukkan kepercayaan investor asing terhadap ekonomi Indonesia masih tinggi. Hal itu juga dipengaruhi imbal hasil obligasi pemerintah Indonesia yang masih menarik. Imbal hasil yang menarik ini dipicu kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia.
Pada Mei-November 2018, Bank Indonesia menaikkan suku bunga acuan sebesar 175 basis poin (bps). Saat ini, suku bunga acuan BI sebesar 6 persen.
Kendati demikian, tambah Enrico, pemerintah tetap perlu mencermati dan mengubah struktur ekonomi Indonesia secara bertahap. Selama ini, untuk memenuhi kekurangan pembiayaan ekonomi domestik masih bergantung pada investor asing.
"Waspadai dana yang bisa setiap saat masuk dan keluar dari pasar keuangan di Indonesia. Di sisi lain, tingkatkan peran swasta untuk membiayai pembangunan ekonomi nasional," ujarnya.
Secara terpisah, ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk, Andry Asmoro, menilai, langkah pemerintah menerbitkan SUN berdenominasi valas senilai 3 miliar dollar AS itu merupakan langkah tepat.
Sejumlah faktor ekonomi global, di antaranya penundaan pengenaan tarif dagang antara AS dan China, serta pertumbuhan ekonomi AS yang diproyeksikan Dana Moneter Internasional (IMF) akan melambat menjadi hanya 1,8 persen, meningkatkan risiko investasi di instrumen obligasi AS.
“Pemerintah berada di jalur yang tepat dalam menangkap momentum peningkatan risiko investasi di pasar keuangan Amerika Serikat,” ujarnya.
Menghadapi 2019, prospek pasar keuangan Tanah Air semakin cerah, yang ditopang sejumlah kebijakan. Dari sisi eksternal, situasi global berpotensi membuat pasar negara-negara berkembang kembali dibanjiri dana asing.
Andry mengatakan, sepanjang November lalu, arus modal asing yang masuk ke Indonesia mencapai Rp 34 triliun di pasar obligasi.
“Beberapa risiko global yang lebih dapat diukur menjadi faktor pendorong utama. Namun, khusus di Indonesia, respons kebijakan fiskal dan moneter yang tepat sangat memengaruhi investor untuk percaya diri masuk Indonesia,” kata Andy.
Berbagai respons kebijakan fiskal dari pemerintah, menurut Andy memberikan arah yang jelas bagi investor sehingga yakin untuk menanamkan modal mereka di pasar obligasi Tanah Air. Kendati tantangan ekonomi tetap ada, pemerintah bersama otoritas moneter konsisten mengatasinya.
Menurut Andry, kebijakan pemerintah memberikan insentif untuk devisa hasil ekspor bagi eksportir merupakan langkah positif. Langkah itu dikombinasikan dengan kebijakan moneter BI, yakni pemisahan rekening simpanan khusus untuk devisa hasil ekspor untuk pemberian insentif pajak. (KRN/HEN/DIM)