JAKARTA, KOMPAS — Perbaikan infrastruktur digital dan sumber daya manusia terus didorong sebagai salah satu strategi pemerintah menghadapi disrupsi digital. Tak hanya menyiapkan tenaga kerja melalui lembaga pendidikan dan pelatihan vokasi, pemerintah mulai menekankan kembali kepada lembaga perguruan tinggi untuk menyiapkan lulusan yang sesuai kebutuhan industri.
Salah satu upaya yang ditempuh pemerintah untuk menyiapkan diri menghadapi disrupsi teknologi adalah memperbaiki infrastruktur digital. Sebab, akses terhadap internet merupakan hal yang harus disiapkan untuk menghadapi disrupsi teknologi.
Pemerintah juga perlu memastikan peningkatan kapasitas infrastuktur ekonomi digital dan keterbukaan untuk berinovasi sesuai perkembangan zaman.
Kementerian Perindustrian telah menyiapkan program E-Smart IKM. Program tersebut merupakan sistem basis data industri kecil dan menengah (IKM) nasional dalam bentuk profil industri, sentra, dan produk yang diintegrasikan dengan pasar dagang yang telah ada. Tujuannya, meningkatkan akses pasar IKM melalui pemasaran internet dan pasar internet.
Pelaksana Tugas Direktur Jenderal Industri Agro Kementerian Perindustrian Achmad Sigit Dwiwahjono mengatakan, E-Smart IKM merupakan salah satu manifestasi dari 10 program prioritas nasional dalam menghadapi revolusi industri 4.0.
”Pada poin ke-4 disebutkan, terkait pemberdayaan IKM, salah satunya dengan cara diberi akses pasar digital,” ujar Achmad, Kamis (6/12/2018), di Jakarta Pusat.
Selain itu, ada sembilan prioritas nasional, seperti reformasi aliran bahan baku, desain ulang zona industri, akselerasi pembangunan berkelanjutan, perbaikan infrastruktur digital, menarik minat investor, meningkatkan kompetensi tenaga kerja, membentuk ekosistem inovasi, memberikan insentif investasi teknologi, dan mengoptimalkan peraturan dan kebijakan.
Lembaga pendidikan
Seperti halnya mata uang, teknologi memiliki dua sisi. Di satu sisi, teknologi bisa menggantikan peran manusia dalam melakukan pekerjaan, tetapi teknologi bisa menciptakan lapangan pekerjaan yang lebih luas. Salah satu strategi yang harus dilakukan adalah mengembangkan kemampuan tenaga kerja sesuai kualifikasi yang dibutuhkan dunia industri.
Dalam rangka menyiapkan diri menghadapi revolusi industri 4.0, pemerintah mulai menggalakkan program pembentukan tenaga kerja yang bisa diserap di era disrupsi digital. Caranya, antara lain menggandeng industri dalam menyusun kurikulum pendidikan vokasi, merevitalisasi lembaga pendidikan vokasi, dan mendirikan balai latihan kerja bagi masyarakat. Lembaga pendidikan tinggi juga diimbau untuk berinovasi sesuai dengan perkembangan industri.
Merespons hal tersebut, Sampoerna University selalu membuka komunikasi dengan pelaku bisnis terkait kebutuhan tenaga kerja di industri. Rektor Sampoerna University Wahdi Salasi A Yudhi mengatakan, setidaknya sekali dalam satu tahun mereka mengundang pelaku bisnis untuk berdiskusi.
”Biasanya kami mengundang praktisi bisnis agar bisa memberi gambaran kepada mahasiswa terkait kebutuhan pasar. Melalui forum itu, mahasiswa juga bisa berdiskusi langsung dengan praktisi bisnis terkait apa saja yang harus mereka persiapkan untuk menghadapi dunia kerja,” ujar Wahdi di sela-sela konferensi bisnis tingkat internasional yang diadakan oleh Sampoerna University, Kamis siang.
Selain itu, kewajiban untuk menjalani masa pemagangan selama tiga bulan juga diterapkan di univeritas tersebut. Dekan Fakultas Bisnis Sampoerna University Ivan Butar mengatakan, ada laboratorium yang digunakan mahasiswa untuk menerapkan pengetahuan yang telah mereka terima di kelas.
”Melalui hal-hal tersebut, lebih dari 90 persen lulusan kami yang sudah mendapatkan pekerjaan, bahkan sebelum mereka lulus,” kata Ivan.
Universitas Terbuka juga mulai melibatkan pelaku industri dalam menyusun kurikulum perkuliahan. Dekan Faktultas Ekonomi Universitas Terbuka Ali Mukiyanto mengatakan Universitas Terbuka menyiapkan program studi baru, yaitu Ekonomi Kreatif, untuk menjawab tantangan disrupsi teknologi.
”Saat ini kami sedang menyusun naskah akademik. Rencananya akan kami kumpulkan pada awal tahun 2019. Jika semuanya berjalan dengan baik, pada akhir 2019 kami sudah bisa menerima mahasiswa,” kata Ali kepada Kompas, Rabu (5/12/2018).
Kolaborasi pemerintah, pelaku industri, dan akademisi merupakan kunci menciptakan tenaga kerja yang sesuai dengan industri.
”Untuk menyiapkan tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pasar, pemerintah tidak bisa bekerja sendiri. Permasalahan seperti kurangnya tenaga kerja yang kompeten, misalnya, dapat diatasi apabila ada kerja sama antara akademisi dan pelaku industri. Pemerintah akan membantu dengan mengeluarkan kebijakan yang sesuai setelahnya,” ujar Deputi Bidang Koordinasi Ekonomi Kreatif, Kewirausahaan dan Daya Saing Koperasi dan Usaha Kecil dan Menengah Mohammad Rudy Salahuddin.
Jika semua lulusan memenuhi kebutuhan industri, tidak ada lagi yang perlu dikhawatirkan dengan disrupsi teknologi. (KRISTI DWI UTAMI)