Kepala Daerah Dipermudah Bangun Infrastruktur Telekomunikasi
Oleh
Mediana
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi Kementerian Komunikasi dan Informatika meluncurkan e-USO, sistem pendaftaran permohonan secara elektronik bantuan pembangunan pemancar, satelit, dan fiber optik, Jumat (8/12/2018), di Hotel Shangri-La, Jakarta. Melalui sistem ini, harapannya memudahkan kepala daerah mengajukan kebutuhan infrastruktur jaringan ke pemerintah pusat.
Seluruh biaya pembangunan menggunakan dana pelayanan universal (universal service obligation/USO). Dana USO diambil dari pendapatan kotor para operator telekomunikasi. Setiap operator wajib menyetor 1,25 persen dari total pendapatan kotor kepada Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) setiap tahun.
"Kami tetap akan melakukan kunjungan langsung ke daerah untuk menilai proposal permohonan pembangunan. E-USO dibuat untuk memudahkan kepala daerah. Mereka bisa mengunggah dokumen pengajuan dari kantor masing-masing sehingga tidak perlu repot datang ke kantor dinas komunikasi dan informatika," ujar Direktur Utama BAKTI Anang Latif.
Dengan adanya e-USO, masing-masing pemerintah daerah sudah memiliki akun. Sistem di e-USO pun telah berisi tahapan-tahapan yang harus dilalui kepala daerah saat memroses pengajuan. Jadi, mereka tidak perlu bertanya-tanya bagaimana kelanjutan pengajuannya.
Menurut data BAKTI, luas pemukiman di Indonesia mencapai sekitar 44.565 kilometer persegi dan jumlah desa/kelurahan 83.218. Sampai sekarang, pencapaian sebaran layanan telekomunikasi seluler berteknologi 2G di seluruh luas pemukiman yaitu 98,44 persen, sedangkan di desa/kelurahan 90,03 persen.
Pencapaian sebaran layanan telekomunikasi seluler berteknologi 3G di semua luas pemukiman tercatat sekitar 93,53 persen, sedangkan di desa/kelurahan 76,74 persen.
Pencapaian sebaran layanan telekomunikasi seluler berteknologi 4G LTE di semua luas pemukiman tercatat sekitar 90,84 persen, sedangkan di desa/kelurahan 73,77 persen.
"Dari data tersebut, kami simpulkan masih ada sekitar 10 persen lagi dari luas pemukiman yang belum mendapat layanan telekomunikasi seluler dan umumnya berlokasi di daerah tertinggal, terdepan, dan terluar. Operator menganggapnya kurang komersial. Hasil perhitungan kami menunjukkan, sisa 10 persen itu bisa diatasi dengan pembangunan pemancar di 5.000 titik lokasi," kata Anang.
Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri No 19 Tahun 2016 tentang Pedoman Pengelolaan Barang Milik Daerah dijelaskan BAKTI memiliki kewajiban untuk menyediakan pemancar, sementara pemerintah daerah berkewajiban untuk menyediakan lahan pendirian pemancar.
"Kami memang mengutamakan pembangunan pemancar di daerah tertinggal, terdepan, terluar. Namun, ini tidak berarti kami tidak perhatian terhadap permohan pengajuan dari daerah yang sudah mendapat layanan selulernya komersial, tetapi kualitasnya buruk," tutur Anang.
Dia menyebutkan, saat ini, BAKTI telah membangun pemancar di 800 titik. Beberapa di antara titik lokasi tersebut telah menumbuhkan perekonomian. Akibatnya, salah satu operator telekomunikasi mau terjun dan mengambil alih pengelolaan pemancar secara komersial.
Pada hari yang sama, Anang menandatangani perjanjian Sewa Pakai Lahan dengan 19 bupati. Perjanjian ini bersifat administratif. Para bupati tersebut menyediakan serta menyewakan lahan kepada BAKTI untuk dijadikan lokasi pembangunan pemancar. Jangka waktu berlakunya perjanjian adalah lima tahun.