JAKARTA, KOMPAS--Intervensi pemerintah dalam menekan impor barang konsumsi dan barang modal infrastruktur dinilai belum sesuai kebutuhan menjaga stabilitas ekonomi pada 2019. Di sisi lain, neraca jasa masih akan membebani neraca perdagangan Indonesia.
Ekonom PT Bank Danamon Indonesia Tbk Wisnu Wardana menuturkan, sepanjang 2018, neraca perdagangan Indonesia selalu berada di zona merah. Pada triwulan II-2018, defisit transaksi berjalan Indonesia sebesar 8 miliar dollar AS, yang meningkat menjadi 8,8 miliar dollar AS pada triwulan III-2018.
“Tahun 2019, kami proyeksikan fokus dari kebijakan ekonomi masih akan mengarah pada penurunan defisit transaksi berjalan di tengah pengetatan likuiditas global,” kata Wisnu di Jakarta, Kamis (6/12/2018).
Berdasarkan data data Bank Indonesia hingga triwulan III-2018, impor Indonesia 138,6 miliar dollar AS. Pada periode tersebut, nilai impor barang modal infrastruktur berkontribusi 34 miliar dollar AS. Adapun nilai impor barang konsumsi berkisar 6,4 miliar dollar AS.
Namun, menurut Wisnu, salah satu faktor utama yang selama ini menjadi penyebab neraca perdagangan defisit adalah pergerakan negatif neraca jasa. Padahal, dalam neraca jasa Indonesia terdapat sektor pariwisata yang prospektif menghasilkan devisa dalam jumlah besar.
“Jika hanya mengandalkan pengurangan impor barang konsumsi dan barang modal infrastruktur, belum sesuai jumlah yang dibutuhkan untuk menjaga stabilitas ekonomi di tahun 2019,” ujarnya.
Untuk menopang transaksi berjalan, ia menyarankan pemerintah mendorong globalisasi industri kuliner. Sebab, pergerakan harga makanan global berasimilasi dengan harga minyak dunia akibat modernisasi di sektor agrikultur.
Secara terpisah, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Thomas Trikasih Lembong menyebutkan, investasi pada 2019 masih akan menopang pertumbuhan ekonomi. Adapun sektor yang menjadi sasaran investasi adalah sektor ekonomi digital, pabrik pemurnian, dan pariwisata.
Lembong memprediksi arus masuk modal ke sektor ekonomi digital di Indonesia mencapai 3 miliar dollar AS, atau 15-20 persen dari total penanaman modal asing, Nilai tersebut cukup besar menyumbang jumlah modal asing yang masuk ke Indonesia.
Adapun nilai investasi dari sektor industri smelter diyakini Thomas akan menyentuh angka Rp 100 triliun. Sektor smelter dinilai Thomas juga memiliki efek domino untuk menciptakan lapangan pekerjaan, serta nilai tambah untuk hasil produk ekspor dalam negeri.
“Sebelumnya investasi sebesar puluhan triliun di sektor smelter sudah membuat Indonesia menjadi tiga besar negara produsen dan eksportir stainless steel di dunia,” ujarnya.
Selain itu, lanjut Lembong, pertumbuhan sektor pariwisata dunia terus meningkat menjadi tujuh persen per tahun. Sementara, kunjungan wisatawan mancanegara dan nasional tumbuh di kisaran 11-12 persen per tahun. Jika pengelolaan investasi pada industri pariwisata dilakukan dengan baik , ia memprediksi, dalam 20 tahun mendatang sektor pariwisata bisa menjadi penopang utama pertumbuhan ekonomi Indonesia. (DIM)