Sektor properti pada 2019 diprediksi tumbuh sekitar 5 persen. Residensial segmen menengah bawah dengan harga dibawah Rp 700 juta per unit diyakini masih akan menopang pasar properti pada tahun depan.
Ekonom PT Bank Mandiri (Persero) Tbk Andry Asmoro mengemukakan, pembiayaan sektor properti tetap menarik untuk perbankan. Sebab, sekitar 72 persen konsumen rumah menengah bawah non subsidi mengandalkan skema kredit pemilikan rumah (KPR). Tahun depan, sektor properti diprediksi tumbuh sekitar 5 persen atau sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.
“Tantangan yang muncul adalah daya beli masyarakat di segmen menengah bawah. Sedangkan, masyarakat segmen menengah atas punya uang, tetapi (investasi) soal keberanian,” katanya, dalam “Rumah.com Property Outlook 2019: Pasar Properti Nasional Tahun 2019 akan Lebih Positif,” di Jakarta, Kamis (6/12/2018).
Ia menambahkan, penyaluran KPR hingga kini masih didominasi pulau Jawa. Adapun pasar properti di luar Jawa sangat dipengaruhi perkembangan harga komoditas. “Pasar properti di daerah akan tumbuh jika harga komoditas membaik,” kata Andry.
Ike Hamdan, Head of Marketing Rumah.Com mengemukakan, permintaan masih didominasi rumah seharga Rp 500 juta-Rp 700 juta per unit, dengan jangka waktu KPR 10-15 tahun. “Secara psikologis, masyarakat mencari harga rumah di bawah Rp 700 juta,” katanya.
Dekat Transportasi
Dari hasil survei Rumah.com terhadap 1.000 responden pada triwulan III-2018, konsumen mencari rumah yang dekat dengan sarana transportasi umum. Kedekatan rumah dengan pusat kota tidak lagi menjadi syarat utama pencarian rumah, sepanjang ada kedekatan rumah dengan sarana transportasi publik. Jarak rumah dengan sarana transportasi yang dianggap ideal yakni maksimum 1 kilometer.
Ketua Dewan Pengurus Pusat Himpunan Pengembang Pemukiman dan Perumahan Rakyat (Himperra) Endang Kawidjaja mengemukakan, tahun ini total suplai rumah subdisi oleh pengembang swasta berkisar 210.000 unit.
Ia menambahkan, ada celah besar bagi pasar properti untuk masyarakat berpenghasilan rendah yang belum terakomodasi skema bantuan pembiayaan. Masyarakat berpenghasilan rendah ini tidak masuk kategori penerima fasilitas likuiditas pembiayaan perumahan (FLPP), namun mereka kesulitan menjangkau hunian dengan harga rumah non subsidi di kisaran Rp 170 juta-Rp 250 juta per unit.
Jika harga rumah dengan fasilitas FLPP mendapat insentif pajak berupa penghapusan PPN dan PPh final 1 persen, maka rumah non subsidi dikenakan pajak sehingga biaya yang ditanggung konsumen jauh lebih tinggi.
“Ke depan, dibutuhkan terobosan kebijakan pemerintah untuk meningkatkan daya beli segmen menengah bawah non FLPP, antara lain dengan insentif pajak,” katanya. (LKT)