Pada 2017, Presiden Joko Widodo menyatakan, kunci pertumbuhan ekonomi Indonesia bukan APBN. APBN hanya sebagai stimulus. Kuncinya dua, yakni ekspor dan investasi. Untuk mewujudkan amanat Presiden, salah satu upaya yang dilakukan adalah menyelesaikan perundingan perjanjian dengan negara-negara lain, baik secara bilateral, regional, maupun multilateral.
Pencapaian perjanjian kerja sama dengan negara-negara lain itu cukup signifikan. Sejumlah negosiasi perdagangan yang sebelumnya memakan waktu tahunan, dapat dirampungkan. Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif Indonesia-Asosiasi Perdagangan Bebas Eropa (I-EFTA CEPA) yang dimulai sejak 2011, telah rampung tahun ini. Demikian juga dengan Indonesia Australia CEPA yang berlangsung sejak 2012, telah mencapai kesimpulan negosiasi.
Data Kementerian Perdagangan (Kemendag) menunjukkan, dalam empat tahun terakhir, ada 9 perjanjian internasional yang telah diratifikasi. Selain itu ada dua perjanjian internasional dalam proses ratifikasi, lima akan ditandatangani, dan satu mendekati penyelesaian.
Perjanjian-perjanjian itu berupa perjanjian perdagangan bebas (FTA), perjanjian tarif preferensial (PTA), perdagangan jasa dan investasi, serta kemitraan ekonomi komprehensif (CEPA). Perjanjian-perjanjian itu diharapkan dapat meningkatkan pertumbuhan ekonomi Indonesia, terutama di sektor perdagangan barang, perdagangan jasa, dan investasi.
Upaya mengejar berbagai perjanjian tuntas itu cukup baik. Namun, setelah perjanjian-perjanjian itu rampung dan efektif berlaku, implementasinya terkesan masih setengah hati dan tertatih-tatih. Akses pasar barang dan jasa serta kemitraan investasi telah dibuka, tetapi gerbong-gerbong di belakangnya masih belum berjalan serasi dalam satu rangkaian.
ASEAN
Dalam pemanfaatan ASEAN-Australia-Selandia Baru FTA (AANZFTA) yang ditandatangai pada 2009, misalnya, banyak eksportir Indonesia yang tidak memanfaatkan skema perjanjian itu. Salah satunya, soal pemanfaatan dokumen Surat Keterangan Asal (SKA) sebagai syarat keringanan tarif atau bea masuk nol persen ke kedua negara itu.
Kemendag menyatakan, dari data Bea dan Cukai, hanya sekitar 35 persen dari total perdagangan Indonesia ke kedua negara itu menggunakan SKA. Padahal, jika skema itu diterapkan, beban biaya eksportir dapat semakin berkurang. Eksportir juga berpotensi meningkatkan ekspor mereka.
Di tingkat regional ASEAN, Indonesia juga belum optimal mewujudkan perjanjian kerja sama Masyarakat Ekonomi ASEAN (MEA). Salah satu kendalanya, sebagian besar produk yang diproduksi anggota ASEAN kurang lebih serupa.
Kendati demikian, mulai ada perbaikan neraca perdagangan Indonesia terhadap ASEAN pasca MEA berlaku efektif pada akhir 2015. Sebelumnya, pada 2012-2016, neraca perdagangan Indonesia dengan ASEAN selalu defisit di kisaran 800 juta dollar AS-13,3 miliar dollar AS.
Badan Pusat Statistik mencatat, pada 2016, neraca perdagangan Indonesia defisit 866,7 juta dollar AS terhadap ASEAN. Pada 2017, kinerja neraca perdagangan diperbaiki, sehingga Indonesia surplus 6,08 miliar dollar. Pada Januari-Oktober 2018, neraca perdagangan Indonesia terhadap ASEAN surplus 2,85 miliar dollar AS.
Jangan sampai perjanjian itu terhenti sebagai secarik kertas. Optimalkan skema perjanjian itu untuk meningkatkan perdagangan barang dan jasa, serta kemitraan investasi berbasis ekspor dan substitusi impor
Di tengah arus proteksionisme, Indonesia perlu mengoptimalkan manfaat berbagai perjanjian internasional. Implementasinya untuk mendorong perdagangan barang dan jasa serta investasi perlu dikawal. Jika tidak, Indonesia yang memiliki pasar besar justru akan dimanfaatkan negara-negara lain yang terikat perjanjian dengan Indonesia.
Dibutuhkan tim lintas pemangku kepentingan terkait, termasuk pelaku usaha, untuk mengimplementasikan dan mengawal perjanjian-perjanjian internasional. Optimalkan skema perjanjian itu untuk meningkatkan perdagangan barang dan jasa, serta kemitraan investasi berbasis ekspor dan substitusi impor. (Hendriyo Widi)