Setelah lebih dari 20 tahun merantau hingga ke Eropa, Balto Xavry Riupassa akhirnya memilih pulang kampung ke Maluku menjadi pengusaha kelapa. Olahan daging kelapa yang selama ini hanya berakhir menjadi kopra itu diolah menjadi minyak kelapa murni, sari buah, dan sabun. Nilai tambahnya berlipat ganda.
Tempat usaha Balto itu ada di Pulau Seram, tepatnya di Desa Wootay, Kecamatan Teon Nila Serua, Kabupaten Maluku Tengah, Maluku. Daerah itu merupakan penghasil kelapa di Maluku, yang menurut data Badan Pusat Statistik, angka produksi dalam setahun mencapai 30.000 ton. Selama ini, potensi tersebut tidak otomatis meningkatkan pendapatan warga.
Daging kelapa umummya dijemur menjadi kopra lalu dijual dengan harga yang terus merosot, hingga kini di bawah Rp 2.000 per kilogram. Padahal untuk mendapatkan satu kilogram kopra perlu waktu berhari-hari. Memanjat kelapa, membela buahya, lalu mencungkil dagingnya. Untuk mengumpulkan satu kilogram, butuh sekitar 5 buah kelapa. Artinya, harga 1 buah kelapa Rp 400. Murah sekali.
Kehadiran mahasiswa Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta, dalam rangka Kuliah Kerja Nyata Program Pemberdayaan Masyarakat pada Mei 2018, seketika membuka cara berpikir Balto. Pikirannya terbuka setelah mahasiswa membuat pelatihan pengolahan kelapa. Balto akhirnya tertarik dan mencobanya lantaran menganggap manfaat ekonominya lebih tinggi.
"Saya melihat prospeknya bagus," katanya.
Sebuah bangunan yang semula ia siapkan menjadi bengkel kayu, seketika disulap menjadi tempat pengolahan kelapa, mulai dari sari buah, minyak kelapa murni (virgin coconut oil/VCO) dan sabun. Kesulitan mendapatkan kemasan pada saat produksi pertama dapat diatasi. Pihak UGM mendatangkan kemasan dari Pulau Jawa. Kini, ia sudah mendatangkan sendiri kemasan itu.
"Kehadiran Mahasiswa UGM membawa berkat bagi kami di sini. Mereka membuka mata kami tentang betapa bermanfaatnya mengolah kelapa. Rupiah yang tersembunyi di balik kelapa sangat banyak," katanya.
Selain VCO, sabun, dan sari buah, mahasiswa UGM juga melatih masyarakat untuk memiliki keterampilan lain, seperti membuat briket dari batok kelapa. Kini, pembuatan briket digeluti masyarakat.
Saat ini, dalam tiga hari, Balto dapat memproduksi minimal 15 liter VCO. Harga jual per botol untuk ukuran 80 mililiter Rp 25.000. Dalam satu bulan, omzetnya mencapai Rp 40 juta.
Sementara, untuk pembuatan sari buah dan sabun dari kelapa masih tergantung pesanan.
"Saya lebih fokus ke VCO karena pemesanannya lebih tinggi ketimbang yang lain. Sumber daya saya terbatas, jadi agak kewalahan" ujarnya.
Melalui usaha itu, Balto dapat membantu petani kelapa setempat dengan membeli kelapa mereka. Jika mengolahnya menjadi kopra, satu buah kelapa nilainya tidak lebih dari Rp 400. Namun, jika dibeli Balto untuk produksi VCO, satu buah kelapa dihargai Rp 1.000.
Kini, banyak petani kopra di daerah itu yang menjual kelapa mereka kepada Balto. Adapun kelapa yang dijadikan bahan baku kopra adalah kelapa tua yang jatuh dari pohon.
Kehadiran usaha pengolahan kelapa juga menyerap tenaga kerja. Sebanyak 12 orang warga di desa itu dipekerjakan dengan gaji hingga Rp 1,5 juta. Angka itu memang masih di bawah upah minimum provinsi Maluku, namun masih lebih tinggi dibandingkan dengan gaji guru honorer yang bertugas di daerah itu.
Balto menyatakan, jika usahanya semakin maju, ia akan menaikkan gaji warga desa yang membantunya itu. Setidaknya, gaji mereka mesti setinggi upah minimum di daerah itu.
Pemasaran meluas
Pengalaman mengurusi bisnis hotel di Bali menjadi bekal bagi Balto untuk memajukan usahanya. Memang, Balto bukan merupakan orang pertama di Seram yang mengolah kelapa menjadi VCO. Namun, dia mungkin yang pertama mengembangkan bisnis itu secara serius dan profesional.
Sebelumnya, kebanyakan bisnis VCO berakhir di tengah jalan lantaran sulit menemukan akses pasar. Hal itu menjadi masalah umum di sana.
Dengan kemampuan komunikasi pemasaran yang lihai serta jejaring bisnis yang luas, VCO milik Balto kini dapat dijumpai di Masohi, ibu kota kabupaten Maluku Tengah, Ambon, Bali, Jakarta, dan Surabaya. Produk itu ia titipkan di gerai milik kenalannya. Bahkan, ada perusahaan krim pepaya asal Australia yang berniat menjadikan VCO buatan Balto sebagai salah satu bahan pembuatan krim.
Setiap menemui siapa pun, Balto selalu bercerita tentang VCO sambil menunjukkan produknya.
Balto berambisi mengembangkan usaha VCO yang ia kelola bisa semakin besar. Untuk itu, ia juga menyiapkan bahan baku sendiri, selain membeli dari petani. Saat ini ia telah memiliki 150 pohon kelapa, yang diperkirakan sudah bisa dipanen mulai lima tahun mendatang.
"Saya punya keyakinan, kalau material dasar sudah murah atau gratis, maka harga bisa bersaing. Itu kekuatan saya," ujar almunus Jurusan Akuntansi Universitas Klabat, Airmadidi, Minahasa, Sulawesi Utara tahun 1996.
Usaha Balto ini menjadi bukti bahwa semua orang memiliki peluang yang sama untuk maju. Selama ini, ada mitos bahwa masyarakat lokal yang mengolah bisnis akan berakhir dengan kegagalan. Akibatnya, masyarakat lokal pun enggan berbisnis, sehingga peluang itu banyak diambil masyarakat Jawa dan Sulawesi.