NUSA DUA, KOMPAS --Pertumbuhan ekonomi global yang diproyeksikan melambat serta dinamika perdagangan internasional akan memengaruhi asumsi makro APBN 2019. Tekanan utama bersumber dari fluktuasi harga minyak, volatilitas nilai tukar rupiah, dan hambatan ekspor.
Dalam asumsi makro APBN 2019 yang dikutip Kompas, Minggu (9/12/2018), pertumbuhan ekonomi 5,3 persen. Adapun nilai tukar rupiah Rp 15.000 per dollar AS.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menuturkan, risiko negatif terhadap pertumbuhan global 2019 masih bersumber dari pelemahan ekonomi Amerika Serikat dan China, krisis di Italia, dan kesepakatan Brexit. Risiko perekonomian semakin meningkat karena beberapa negara memilih mekanisme perdagangan unilateral ketimbang multilateral, ditambah kemungkinan Bank Sentral AS, The Fed, kembali menaikkan suku bunga acuan pada 2019.
“Yang akan terus kita waspadai, dari sisi asumsi makro tahun 2019 mungkin akan mengalami deviasi sama seperti 2018,” kata Sri Mulyani dalam acara bersama media, akhir pekan lalu, di Nusa Dua, Bali.
Pada 2018, lanjut Sri Mulyani, pertumbuhan ekonomi Indonesia diperkirakan 5,2 persen. Sementara, rata-rata nilai tukar rupiah Rp 14.275 per dollar AS atau di atas asumsi makro awal Rp 13.400 per dollar AS. Harga minyak dunia juga lebih tinggi dari asumsi makro dalam APBN 2018, yakni 48 dollar AS per barrel.
Kenaikan harga minyak dan pelemahan rupiah mendorong peningkatan pendapatan negara, sehingga diyakini melampaui target APBN sebesar Rp 1.894,7 triliun. Namun, belanja subsidi energi dan pembiayaan utang membengkak. Realiasi belanja subsidi energi hingga 30 November mencapai Rp 130,4 triliun atau 138 persen dari pagu, sementara pembiayaan bunga utang Rp 251,1 triliun atau 105,2 persen dari pagu.
Sri Mulyani menekankan, stabilitas dan fleksibilitas APBN akan tetap dijaga, terutama pada 2018 menuju 2019. Di tengah kondisi global yang diselimuti ketidakpastian, daya ungkit ekonomi diupayakan dari konsumsi rumah tangga yang ditargetkan tumbuh 5,1 persen, konsumsi pemerintah 5,4 persen, investasi 7 persen, ekspor 6,3 persen, serta impor 7,1 persen.
“Pertumbuhan investasi melihat dinamika sektor keuangan perbankan dan pasar modal. Sentimen optimistis sudah muncul, tetapi masih ada kehati-hatian tren kenaikan suku bunga,” kata Sri Mulyani.
Peluang
Secara terpisah, Guru Besar Perdagangan Internasional dan Investasi dari John F Kennedy School of Government Universitas Harvard Robert Z Lawrence mengatakan, dinamika perekonomian global justru membuka peluang bagi Indonesia untuk terlibat dalam rantai nilai global. Selama ini Indonesia masih cenderung tertutup untuk berkompetisi dengan negara lain.
“Jika kita menginginkan pertumbuhan bukan hanya dengan transformasi struktural, tetapi meningkatkan daya saing di pasar global, itu membutuhkan kebijakan lebih terbuka,” ujarnya.
Selain terlibat dalam rantai nilai global, Indonesia juga harus segera merealisasikan diversifikasi ekspor untuk mengantisipasi harga komoditas yang turun.
Kepala Ekonom PwC Inggris John Hawksworth berpendapat, ekonomi global akan kembali naik dua kali lipat pada 2050 jika kebijakan negara-negara diarahkan tetap pro pertumbuhan serta tidak terjadi bencana alam besar. Hal itu bisa terjadi jika pemerintah Indonesia memperbaiki stabilitas makroekonomi, memanfaatkan berbagai teknologi baru, dan merealisasikan diversifikasi ekonomi untuk mengurangi kesenjangan. (KRN)