JAKARTA, KOMPAS-- Pengelolaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah dinilai belum optimal untuk mengungkit pertumbuhan ekonomi dan investasi. Selama ini beberapa daerah mengalokasikan anggaran belanja pegawai jauh lebih tinggi daripada untuk belanja modal atau belanja produktif lainnya.
“Selama ini rata-rata belanja daerah untuk belanja pegawai mencapai 36 persen. Bahkan, waktu sidang kabinet, (terungkap) beberapa daerah ada yang mencapai 60 persen,” kata Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dalam sosialisasi Transfer ke dan Dana Desa tahun anggaran 2019 di Jakarta, Senin (10/12/2018).
Sri Mulyani menambahkan, setiap daerah wajib mengalokasikan minimal 25 persen dana transfer umum dari pemerintah pusat untuk pembiayaan infrastruktur. Namun, dalam implementasinya, mayoritas daerah belum menerapkan aturan itu dengan alasan sebagian besar anggaran habis untuk gaji dan biaya pegawai.
Alokasi belanja pegawai tersebut jauh lebih tinggi dari belanja untuk kegiatan produktif. Sri Mulyani menyebutkan, rata-rata belanja pemerintah daerah untuk belanja modal hanya 19 persen, serta belanja barang dan jasa sekitar 23 persen. Dari hasil audit, belanja barang dan jasa juga banyak untuk dinas pemerintah daerah.
“Ada pejabat dan pegawai dari beberapa daerah yang datang ke Kementerian Keuangan bisa 46 kali, 44 kali, 42 kali, dalam satu tahun. Mereka datang pasti untuk menghabiskan uang,” ujar Sri Mulyani.
APBD, tambah Sri Mulyani, seharusnya dikelola secara efektif dan efisien agar mampu menciptakan daya dorong terhadap konsumsi masyarakat dan iklim investasi. Desain APBD dirancang untuk kegiatan yang dapat menciptakan efek berganda, seperti memperluas lapangan kerja, menurunkan kemiskinan, dan meningkatkan pendapatan asli daerah.
Pengelolaan APBD yang belum optimal juga tercermin dari pertumbuhan ekonomi nasional yang belum merata. Sejauh ini hanya Jawa, Sulawesi, serta Papua dan Maluku yang pertumbuhan ekonominya di atas rata-rata nasional 5,17 persen. Sementara, pertumbuhan ekonomi Kalimantan dan Sulawesi di bawah rata-rata nasional karena masih bergantung pada ekspor komoditas yang harganya tengah merosot.
Pada 2019, hampir sepertiga belanja APBN akan dialokasikan untuk transfer ke daerah dan dana desa, senilai Rp 827 triliun. Anggaran transfer ke daerah dan dana desa pada 2019 lebih tinggi dari proyeksi 2018 yang senilai Rp 764 triliun.
Sri Mulyani mengatakan, anggaran harus digunakan tepat sasaran dan untuk program yang berkelanjutan. Di sisi lain, pemerintah daerah juga mesti meningkatkan penerimaan asli daerah, terutama dari perpajakan. Sektor-sektor penghasil pajak bisa dioptimalkan dengan syarat tidak merusak iklim investasi. Saat ini Kementerian Keuangan sedang merevisi Undang-Undang tentang pajak dan keuangan daerah.
Investasi
Instrumen APBD dapat memperkecil dampak negatif ketidakpastian kondisi perekonomian global. Pengelolaan APBD yang kredibel bisa menjadi sentimen positif untuk investasi baru. Namun, kondisi itu harus ditunjang reformasi birokrasi dan perizinan di daerah. Investasi baru bisa diarahkan untuk membantu realisasi diversifikasi ekspor.
Data Badan Koordinasi dan Penanaman Modal menunjukkan, realisasi investasi penanaman modal dalam negeri dan penanaman modal asing pada Januari–September 2018 sebesar Rp 535,4 triliun atau meningkat 4,3 persen secara tahunan. Realisasi investasi terbesar di Jawa Barat, yakni Rp 88,4 triliun atau 16,5 persen dari total realisasi.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Kementerian Keuangan Astera Primanto Bhakti menambahkan, peningkatan anggaran transfer ke daerah dan dana desa mencerminkan keseriusan pemerintah mewujudkan desentralisasi fiskal.
Penyelewengan anggaran di tingkat daerah diantisipasi dengan sistem verifikasi yang lebih ketat. Untuk keperluan itu, Kementerian Keuangan menggandeng Asosiasi Profesi Akuntan Publik untuk memeriksa laporan penggunaan anggaran dari pemerintah daerah. Tingkat kepatuhan daerah untuk melaporkan tepat waktu juga mesti ditingkatkan.
Secara terpisah Direktur Eksekutif Komite Pemantauan Pelaksanaan Otonomi Daerah (KPPOD) Robert Endi Jaweng berpendapat, pemberian insentif dan disinsentif bagi daerah terkait konsistensi reformasi dan pengelolaan anggaran baik untuk memacu kompetisi. Insentif dapat memacu kinerja pemerintah daerah lebih optimal. (KRN)