JAKARTA, KOMPAS--Investor mulai rasional menyikapi pergerakan negatif saham emiten-emiten yang baru melantai di bursa saham pada tahun ini. Pada saat indeks harga saham gabungan kembali ke level 6.000, harga saham sejumlah emiten justru merosot dibandingkan dengan harga pada saat penawaran saham perdana.
Pada perdagangan Senin (10/12/2018), indeks harga saham gabungan (IHSG) ditutup melemah 0,24 persen ke level 6.111,36. Dari 55 saham emiten pendatang baru tahun ini, sebanyak 23 saham mencatatkan pergerakan negatif sepanjang pekan lalu.
Penurunan harga saham pendatang baru yang paling tajam dialami PT Guna Timur Raya Tbk dengan kode saham TRUK, yakni 63,08 persen, disusul PT Superkrane Mitra Utama Tbk berkode saham SKRN yang turun 40 persen. Padahal, saat menawarkan saham perdana (IPO) di Bursa Efek Indonesia, saham kedua emiten ini melonjak 50 persen pada hari pertama.
Kepala Riset Koneksi Capital, Alfred Nainggolan, mengatakan, investor sebaiknya tetap berhati-hati dan tidak mudah tergoda lonjakan harga yang tinggi pada saham yang baru masuk bursa saham. “Lebih dari 50 persen saham IPO mengalami tren penurunan harga setelah euforia pasca-IPO. Namun, momentum awal penurunan harga bisa bervariasi,” ujarnya.
Menurut Alfred, saham yang harganya melonjak tinggi kerap kali tidak terlalu likuid di pasar sehingga sulit untuk dilepas lagi. Hal ini berpotensi menimbulkan koreksi harga yang dalam ketika terjadi pembalikan tren.
Investor, lanjut Alfred, perlu mengetahui dengan pasti kenaikan harga disebabkan fundamen yang solid, bukan karena permainan pasar.
Dari seluruh emiten yang IPO tahun ini, sebanyak 32 emiten masih mencatatkan harga saham yang melonjak pasca-IPO, termasuk dua perusahaan properti, yakni PT Urban Jakarta Propertindo Tbk dan PT Mega Satria Kencana Tbk, yang baru menggelar IPO kemarin.
Emiten pendatang baru dengan kenaikan harga saham tertinggi adalah PT Transcoal Pacific Tbk yang IPO tiga bulan lalu, dengan kenaikan harga sebesar 143,85 persen, serta PT Super Energy Tbk yang bergabung sebulan lalu, dengan kenaikan harga 81,46 persen.
Belum laba
Analis Trimegah Sekuritas, Rovandi, menilai, beberapa emiten yang mencatatkan lonjakan harga fantastis ini justru belum membukukan laba sepanjang tahun ini. Beberapa emiten lain memiliki laba sangat kecil sehingga price earning ratio mereka ratusan hingga ribuan kali akibat harga yang terlalu tinggi.
Dalam beberapa tahun terakhir, lanjutnya, investor cenderung mudah terjebak dalam euforia saham IPO, tren peningkatan harga fantastis, serta rumor yang kadang cenderung bias. Investor justru mengabaikan faktor paling penting, yakni fundamen emiten.
“Banyak investor yang hanya mengandalkan rumor, akhirnya tersangkut sahamnya. Banyak saham yang harganya naik di atas 100 persen, akhirnya turun lagi karena fundamennya tidak sesuai,” katanya.
Analis Senior CSA Research Institute, Reza Priyambada, menggambarkan, tekanan pada 2019 masih akan membayangi pasar modal global dan domestik. Sebab, sentimen negatif pengetatan suku bunga global diperkirakan masih akan berlanjut.
"Ekspektasi investor terhadap kenaikan harga saham-saham yang ada di bursa cenderung terbatas," ujar Reza. (DIM)