Pekan lalu, organisasi negara-negara pengekspor minyak atau OPEC, lagi-lagi, sepakat memangkas produksi minyak. Bersama Rusia, yang bukan anggota OPEC, disepakati produksi dipangkas 1,2 juta barrel per hari. Pemangkasan tersebut ditujukan untuk mengatrol harga minyak yang sempat mencapai 85 dollar AS per barrel pada bulan lalu atau tertinggi sejak kejatuhan harga minyak pada empat tahun lalu.
Harga minyak yang rendah tak disukai Arab Saudi, negara yang menjadi pemimpin de facto OPEC. Mengacu data harga pada laman Bloomberg, harga minyak sempat menyentuh level 59 dollar AS per barrel.
Keputusan pemangkasan produksi OPEC tersebut menyebabkan harga sedikit naik menjadi 61 dollar AS per barrel pada penutupan perdagangan akhir pekan lalu.
Lalu, apa dampak kebijakan tersebut bagi Indonesia? Pemangkasan produksi akan menyebabkan hukum pasar berlaku, yakni pasokan dan permintaan menjadi tidak seimbang. Dampak lanjutannya, harga minyak merangkak naik, kecuali Amerika Serikat membanjiri pasar dengan pasokan minyaknya.
Bagi Indonesia, negara importir bersih minyak sejak 2004, kenaikan harga minyak akan langsung memukul neraca perdagangan. Sepanjang tahun ini, impor minyak mentah dan bahan bakar minyak yang tinggi kerap disebut sebagai pemicu defisit transaksi berjalan.
Berdasarkan Neraca Pembayaran Indonesia yang dirilis Bank Indonesia, neraca migas pada triwulan III-2018 defisit 3,528 miliar dollar AS. Defisit ini lebih dalam dibandingkan dengan triwulan I-2018 yang defisit 2,411 miliar dollar AS dan triwulan II-2018 yang defisit 2,761 miliar dollar AS.
Bagi korporasi, dalam hal ini PT Pertamina (Persero), kinerja keuangan perusahaan dipastikan bakal tertekan. Salah satu penyebabnya, perusahaan tak mendapat untung di tengah kenaikan harga minyak lantaran harga jual beberapa jenis bahan bakar minyak (BBM), yaktu premium dan solar bersubsidi, lebih rendah dari harga keekonomian. Harga jual premium Rp 6.450 per liter dan solar subsidi Rp 5.150 per liter, masih di bawah harga keekonomian yang selisihnya sampai Rp 2.500 per liter.
Lalu, apakah perlu harga premium dan solar bersubsidi dinaikkan? Pemerintah sudah memutuskan tak akan menaikkan harga premium dan solar bersubsidi sampai dengan 2019. Meskipun, Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Ignasius Jonan sempat mengumumkan di Denpasar, Bali, harga premium akan dinaikkan. Satu jam kemudian, rencana itu dibatalkan pemerintah.
Lagipula, menaikkan harga BBM di tahun politik seperti sekarang ini bukanlah keputusan menyenangkan. Padahal, kenaikan harga jual BBM adalah hal yang sangat logis di saat harga minyak mentah naik. Pertimbangan politik lebih diutamakan.
Bisa jadi apa yang terjadi di Perancis dijadikan cerminan pemerintah yang tengah berkuasa sekarang. Keputusan menaikkan pajak solar oleh pemerintah Perancis berujung kerusuhan di kota Paris. Penyebabnya memang bukan semata-mata kenaikan harga solar, tetapi kebijakan itu menjadi pemicu protes dari berbagai persoalan yang sudah ada sebelumnya.
Pelajaran apa yang bisa diambil pemerintah? Pertama, harus ada penyadaran kepada publik bahwa sesuatu yang pasti habis (dalam waktu dekat) tidak bisa dihargai murah. Minyak, bersama gas alam dan batubara, adalah sumber daya fosil yang tak bisa diperbarui. Sesuatu yang tak bisa diperbarui harus dihemat dan bijaksana dalam pemakaiannya.
Kedua, mengingat produksi minyak dalam negeri yang terus merosot, sementara konsumsi terus meninggi, suka atau tidak suka, pencarian sumber cadangan baru harus dilakukan. Tanpa eksplorasi, jangan harap produksi bertambah. Cadangan yang ada kian menyusut dan tinggal menunggu waktu untuk habis.
Pelaku usaha menyebutkan, efisiensi dan peningkatan daya saing untuk menggairahkan iklim investasi dapat mengurangi dampak ketidakpastian dari harga minyak. Ringkasnya, harga jual yang tak bisa dikendalikan diatasi dengan efisiensi ongkos produksi.
Bagaimana kalau ekplorasi tak dilakukan dan efisiensi sulit dijalankan? Impor akan berjalan terus. Defisit kian dalam. (Aris Prasetyo)